A.Latar Belakang
            Pendidikan di Indonesia dewasa ini belumlah menjadi cita-cita ideal yang diharapkan oleh seluruh masyarakat muslim, khususnya para pendidik dan pemerhati pendidikan.Keberhasilan pendidikan tidak hanya ditinjau dari aspek nilai akademis dari suatu kegiatan ujian saja, tetapi lebih jauh hasil dari kegiatan pendidikan haruslah mampu mengakomodasi  berbagai aspek dimensi kebutuhan masyarakat, terutama aspek moralitas bangsa, sehingga tiap keluaran pendidikan lembaga in formal maupun non formal tidak hanya memiliki kapabilitas pada keilmuan yang dituntutnya saja.Pendiikan tidak boleh menghasilkan faham kekuasaan, berbau feodal, dan harus memperhatikan aspirasi kemajemukan peserta didik secara memadai.
Banyak dari pemikir Islam seperti Al-Farabi, Ibn Sina, Ibn Rusyd, Al-Biruni, Ibn Khaldun, Al-Ghazali dan lain sebagainya, telah memberikan contoh dalam pendidikan Islam yang ideal. Ketika itu masa kejayaan Islam (abad ke 7 sampai ke 12 M), lembaga perguruan tinggi Islam telah mampu menghasilkan ilmuwan-ilmuwan muslim yang memiliki keseimbangan intelektual, ilmu pengetahuan, dan teknologi (IPTEK) dengan etika dan moral (IMTAQ). Jadi, secara historis konsep pendidikan Islam yang mengutamakan kepentingan duniawi dan ukhrawi sebenarnya telah diaplikasikan kaum Muslim terdahulu.
Sistem pendidikan Islam harus dibangun di atas konsep kesatuan antara pendidikan Qalbiyah dan Aqliyah, sehingga mampu menghasilkan manusia Muslim yang pintar secara Intelektual dan terpuji secara moral.
Dalam upaya membangun kembali kejayaan Islam agar dapat menciptakan suatu peradaban Islam di tengah dominasi politik, ekonomi, kultural, dan intelektual Barat, maka hal dalam pendidikan seperti di perguruan tinggi, sekolah tinggi Islam manapun perlu di tata kembali. Dalam konteks ini dapat dikatakan bahwa secara umum tingkat perkembangan perguruan tinggi Islam relatif hampir sama. Di Indonesia misalnya, eksistensi perguruan tinggi Islam pada dasarnya tidak jauh berbeda dari keadaan perguruan tinggi di negara-negara Islam lainnya. Fakultas keagamaan di perguruan tinggi swasta, seperti yang didirikan NU dan Muhammadiyah, secara institusional memiliki kemiripan dengan fakultas keagamaan di Universitas Al-Azhar. Perbedaan yang utama adalah pada sisi orientasi dan penekanan materi.
            Dalam rangka menuju cita-cita pendidikan Islam Indonesia yang ideal, penulis mencoba menawarkan pemikiran yang telah awal ditawarkan oleh tokoh pendidik dan cenderung lebih dekat dengan konsep pendidikan Islam, KH.Ahmad Dahlan, hal ini dimasksud untuk mencari relevansi bagi solusi terhadap problematika pendidikan di Indonesia saat ini, lebih fokus adalah untuk generasi muslim.
K.H. Ahmad Dahlan merupakan tipe man of action sehingga sudah pada tempatnya apabila mewariskan cukup banyak amal usaha bukan tulisan. Oleh sebab itu untuk menelusuri bagaimana orientasi filosofis pendidikan Ahmad Dahlan mestinya lebih banyak merujuk pada bagaimana ia membangun sistem pendidikan. Dengan usaha beliau dibidang pendidikan, Dia dapat dikatakan sebagai suatu "model" dari bangkitnya sebuah generasi yang merupakan "titik pusat" dari suatu pergerakan yang bangkit untuk menjawab tantangan-tantangan yang dihadapi golongan Islam yang berupa ketertinggalan dalam sistem pendidikan dan kejumudan paham agama Islam.
Berkaitan dengan hal tersebut, maka timbul suatu pertanyaan. Yakni, Bagaimana pemikiran KH. Ahmad Dahlan mengenai pendidikan terutama filsafat pendidikan Islam di Indonesia?, Apa relevansi filsafat pendidikan Islam K.H. Ahmad Dahlan dengan problem pendidikan dewasa ini?, Bagaimana tinjauan kritis terhadap filsafat pendidikan Islam K.H. Ahmad Dahlan?
Sesungguhnya, berbeda dengan tokoh-tokoh nasional pada zamannya yang lebih menaruh perhatian pada persoalan politik dan ekonomi, Kyai Dahlan mengabdikan diri sepenuhnya dalam bidang pendidikan. Titik bidik pada dunia pendidikan pada gilirannya mengantarkannya memasuki jantung persoalan umat yang sebenarnya.
Berdasarkan uraian jawaban di atas kita melihat bahwa membangun upaya dakwah (seruan kepada ummat manusia) tersebut, maka Kyai Dahlan gigih membina angkatan muda untuk turut bersama-sama melaksanakan upaya dakwah tersebut, dan juga untuk meneruskan dan melangsungkan cita-citanya membangun dan memajukan bangsa ini dengan membangkitkan kesadaran akan ketertindasan dan ketertinggalan ummat Islam di Indonesia..
Munir Mulkhan dalam bukunya Pesan dan Kisah K.H. Ahmad Dahlan Dalam Hikmah Muhammadiyah mengingatkan “ bahwa kebiasaan manusia yang sering berkerja berdasarkan hawa nafsu dan tidak mau belajar dari orang lain maka dari itu manusia wajib menambah ilmu pengetahuan, dan wajib melaksanakan ilmu pengetahuan utama yang telah dikuasai, tidak menjadikan pengetahuan hanya sebagai pengetahuan semata.”[1]
Filsafat pendidikan Islam, merupakan bagian dari ajaran Islam mengenai pentingnya pendidikan dikalangan umat. Kalau Islam itu agama yang benar yang baik yang membawa kemuliaan dan kebahagiaan mengapa umat Islam sekarang pecah, lemah, rendah, tidak memegang pimpinan di dunia khalifatul Allah yang maha adil?, Allah berfirman: ”mengapa kamu suruh orang lain (mengerjakan) kebaktian, sedang kamu melupakan diri (kewajiban) mu sendiri, Padahal kamu membaca Al kitab (Taurat)? Maka tidaklah kamu berpikir?
Dari tulisan di atas, dapat diambil kesimpulan, bahwa setiap umat manusia memiliki kepedulian terhadap pendidikan. Karena, ini merupakan bagian dari ajaran agama Islam.Sebagaimana firman Allah SWT yang artinya :Apakah kamu mengira, bahwasanya kebanyakan mereka itu suka mendengar atau memikir-mikir mencari ilmu yang benar?. (al-Furqan: 44)
B.Permasalahan
Pada umumnya Filsafat Pendidikan Islam merupakan penyebab munculnya dan berkembangnya tradisi keilmuan, pemikiran, dan filsafat di dunia Islam dan tidak dapat dipisahkan dari kondisi lingkungan, kebudayaan dan peradaban yang mengitari munculnya pandangan tentang filsafat pendidikan Islam ini. Karena itu, penulis memiliki permasalahan tentang hal yang berkaitan dengan filsafat pendidikan Islam;
a.       Bagaimana pemikiran KH. Ahmad Dahlan mengenai pendidikan terutama filsafat pendidikan Islam di Indonesia?
b.      Apa relevansi filsafat pendidikan Islam K.H. Ahmad Dahlan dengan problem pendidikan dewasa ini?
c.       Bagaimana tinjauan kritis terhadap filsafat pendidikan Islam K.H. Ahmad Dahlan?

C.Manfaat
Dalam penulisan ini, pembahasan tentang “Filsafat Pendidikan Islam Menurut K.H. Ahmad Dahlan (1868-1923) atau Relevansinya Bagi Solusi Problem Pendidikan Dewasa Ini , merupakan studi literatur pemikiran K.H. Ahmad Dahlan tentang Falsafah Pendidikan Islam dan memberikan manfaat bagi agama dan bangsa. Bagi pemerintah dalam suatu negara seperti Indonesia akan hal ini, sangatlah penting dalam tatanan kepemerintahan yang majemuk dan mayoritas penduduknya beragama Islam. Sedangkan bagi masyarakat Muslim, pendidikan filsafat Islam merupakan manajer dalam memahami konteks pendidikan terutama pendidikan Islam di Indonesia.

D.Tujuan
Tujuan penulisan ini merupakan permasalahan baru dalam melihat kacamata masyarakat mengenai pendidikan terutama Islam. Dengan demikian dapat diperoleh suatu tujuan-tujuan sebagai berikut :
a.       Menggambarkan corak pemikiran Filsafat Pendidikan Islam menurut K.H. Ahmad Dahlan
b.      Menjelaskan konsep-konsep Pendidikan Islam menurut K.H. Ahmad Dahlan
c.       Mengkritisi pemikiran K.H. Ahmad Dahlan tentang Pendidikan Islam di Indonesia
d.      Memberikan perspektif baru tentang filsafat pendidikan Islam.
BAB II
PEMIKIRAN KH.AHMAD DAHLAN

A. Biogarafi K.H Ahmad Dahlan
Kyai Haji Ahmad Dahlan lahir pada tahun 1868 dengan nama Muhammad Darwisy di Kampung Kauman sebelah barat alun-alun utara Yogyakarta., selain sebagai sebuah pemukiman di sekitar Masjid Besar Yogyakarta. Sejarah telah mencatat lain. Kampung Kauman menjadi sebuah nama besar sebagai kampung kelahiran seorang Pahlawan Kemerdekaan Nasional Indonesia, Kiai Haji Ahmad Dahlan, dan lahirnya Persyarikatan Muhammadiyah pada 8 Dzulhijjah 1330 Hijriyah yang bertepatan dengan 18 November 1912.
Muhammad Darwisy dilahirkan dari kedua orang tuanya, yaitu KH. Abu Bakar (seorang ulama dan Khatib terkemuka di Mesjid Besar Kesultanan Yogyakarta) dan Nyai Abu Bakar (puteri dari H. Ibrahim yang menjabat sebagai penghulu kesultanan juga). Ia merupakan anak ke-empat dari tujuh orang bersaudara yang keseluruhanya saudaranya perempuan, kecuali adik bungsunya. Dalam silsilah ia termasuk keturunan yang kedua belas dari Maulana Malik Ibrahim, seorang wali besar dan seorang yang terkemuka diantara Wali Songo, dan merupakan pelopor pertama dari penyebaran dan pengembangan Islam di Tanah Jawa. Adapun silsilahnya ialah Muhammad Darwisy (Ahmad Dahlan) bin KH. Abu Bakar bin KH. Muhammad Sulaiman bin Kiyai Murtadla bin Kiyai Ilyas bin Demang Djurung Djuru Kapindo bin Demang Djurung Djuru Sapisan bin Maulana Sulaiman Ki Ageng Gribig (Djatinom) bin Maulana Muhammad Fadlul'llah (Prapen) bin Maulana 'Ainul Yaqin bin Maulana Ishaq bin Maulana Malik Ibrahim.
Muhammad Darwisy dididik dalam lingkungan pesantren sejak kecil yang mengajarinya pengetahuan agama dan bahasa Arab. Ia menunaikan ibadah haji ketika berusia 15 tahun (1883), lalu dilanjutkan dengan menuntut ilmu agama dan bahasa arab di Makkah selama lima tahun. Di sinilah ia berinteraksi dengan pemikiran-pemikiran pembaharu dalam dunia Islam, seperti Muhammad Abduh, al-Afghani, Rasyid Ridha, dan ibn Taimiyah. Buah pemikiran tokoh-tokoh Islam ini mempunyai pengaruh yang besar pada Darwisy. Jiwa dan pemikirannya penuh disemangati oleh aliran pembaharuan ini yang kelak kemudian hari menampilkan corak keagamaan yang sama, yaitu melalui Muhammadiyah, yang bertujuan untuk memperbaharui pemahaman keagamaan (ke-Islaman) di sebagian besar dunia Islam saat itu yang masih bersifat ortodoks (kolot). Ortodoksi ini dipandang menimbulkan kebekuan ajaran Islam, serta stagnasi dan dekadensi (keterbelakangan) ummat Islam. Oleh karena itu, pemahaman keagamaan yang statis ini harus dirubah dan diperbaharui, dengan gerakan purifikasi atau pemurnian ajaran Islam  kembali kepada al-Qur'an dan al-Hadits.
Pada usia 20 tahun (1888), ia kembali ke kampungnya, dan berganti nama Ahmad Dahlan. Sepulangnya dari Makkah ini, iapun diangkat menjadi khatib amin di lingkungan Kesultanan Yogyakarta. Pada tahun 1902-1904, ia menunaikan ibadah haji untuk kedua kalinya yang dilanjutkan dengan memperdalam ilmu agama kepada beberapa guru di Makkah.
Sepulang dari Makkah, ia menikah dengan Siti Walidah, sepupunya sendiri, anak Kyai Penghulu Haji Fadhil, yang kelak dikenal dengan Nyai Ahmad Dahlan, seorang Pahlawanan Nasional dan pendiri Aisyiyah. Dari perkawinannya dengan Siti Walidah, KH. Ahmad Dahlan mendapat enam orang anak yaitu Djohanah, Siradj Dahlan, Siti Busyro, Irfan Dahlan, Siti Aisyah, Siti Zaharah. Di samping itu, KH. Ahmad Dahlan pernah pula menikahi Nyai Abdullah, janda H. Abdullah. Ia juga pernah menikahi Nyai Rum, adik Kyai Munawwir Krapyak. KH. Ahmad Dahlan juga mempunyai putera dari perkawinannya dengan Ibu Nyai Aisyah (adik Adjengan Penghulu) Cianjur yang bernama Dandanah. Beliau pernah pula menikah dengan Nyai Yasin Pakualaman Yogyakarta.

B. Difinisi Filsafat Pendidikan Islam Serta Pengertian Filsafat Pendidikan Islam
Pendidikan adalah usaha sadar untuk menyiapkan peserta didik melalui kegiatan pengajaran, atau latihan bagi peranannya di masa yang akan datang. Sementara itu Indra Djati Sidi menambahkan, bahwa pendidikan adalah bimbingan atau pimpinan secara sadar oleh pendidik terhadap perkembangan jasmani dan rohani terdidik menuju terbentuknya pribadi yang utama [2]
Tujuan pendidikan tidak terlepas dari tujuan hidup, sebab pendidikan bertujuan untuk memelihara kehidupan manusia. tujuan akhir pendidikan, al-Syaibani, menyimpulkan tujuan akhir pendidikan, yakni : Keutamaan dan pendekatan diri kepada Allah yakni keutamaan dan pendekatan diri kepada Allah.[3] Dengan demikian secara garis besar disimpulkan tujuan umum pendidikan Islam ada lima, yaitu: Pertama, untuk membentuk akhlaq yang mulia. Kaum muslimin dari dahulu sampai sekarang sepakat bahwa pendidikan akhlaq yang sempurna adalah pendidikan yang sebenarnya. Kedua, persiapan untuk kehidupan dunia dan akhirat. Pendidikan Islam bukan hanya menitikberatkan pada keagamaan atau keduniaan saja, tetapi pada keduanya. Ketiga, persiapan untuk mencari rizki dan pemeliharaan segi manfaat, atau secara populer diistilahkan dengan tujuan vocational dan professional. Keempat, menumbuhkan semangat ilmiah pada para pelajar, dan memuaskan rasa ingin tahu, serta memungkinkan mereka mengkaji ilmu demi ilmu itu sendiri. Kelima, menyiapkan pelajar dari segi profesi, teknik, dan pertukangan supaya dapat menguasai profesi tertentu dan keterampilan pekerjaan tertentu, agar dapat mencari rizki dalam hidup, di samping memelihara segi kerohanian dan keagamaan.Selain itu Muhammad Munir Mursi menjelaskan tentang tujuan pendidikan Islam adalah: Pertama, terciptanya manusia seutuhnya, karena Islam itu adalah agama yang sempurna. Kedua, terciptanya kebahagiaan dunia dan akhirat, merupakan tujuan yang seimbang. Ketiga, menumbuhkan kesadaran manusia untuk mengabdi dan takut kepada-Nya. Keempat, menguatkan ukhuwah Islâmiyyah di kalangan kaum muslimin.
Dari uraian tersebut, tujuan pendidikan dalam Islam pada dasarnya mengubah sikap mental dan moral serta perilaku manusia menuju ke arah perbaikan, yang dapat menghasilkan kebahagiaan baik bagi dirinya maupun lingkungan sekitarnya, bahkan lebih jauh dapat memberi rahmat bagi alam semesta.
Melihat kembali Filsafat merupakan bagian dari tindakan pemikiran yang bijaksana, maka dalam hal ini, Islam sebagai agama universal yang merupakan bagian dari kehidupan manusia baik dunia dan akhirat. Pada sifatnya yang universal inilah, Islam cocok untuk menjadi agama bagi semua umat manusia yang berbeda dalam jenis bahasa, budaya dan daerah.
Selanjutnya Islam merupakan sumber utama untuk menjadi dasar filsafat umum dan filsafat yang sering digunakan dalam bidang pendidikan, pembangunan, kebudayaan, sosial, ekonomi dan politik.

C. Dinamika Pemikiran Intelektual K.H Ahmad Dahlan
Ahmad Dahlan adalah tipe man of action sehingga sudah pada tempatnya apabila mewariskan cukup banyak amal usaha bukan tulisan. Oleh sebab itu untuk menelusuri bagaimana orientasi filosofis pendidikan kyai musti lebih banyak merujuk pada bagaimana ia membangun sistem pendidikan. Namun naskah pidato terakhir Kyai yang berjudul Tali Pengikat Hidup menarik untuk dicermati karena menunjukkan secara eksplisit konsen Kyai terhadap pencerahan akal suci melalui filsafat dan logika. Sedikitnya ada tiga kalimat kunci yang menggambarkan tingginya minat Kyai dalam pencerahan akal, yaitu: (1) pengetahuan tertinggi adalah pengetahuan tentang kesatuan hidup yang dapat dicapai dengan sikap kritis dan terbuka dengan mempergunakan akal sehat dan istiqomah terhadap kebenaran akali dengan di dasari hati yang suci; (2) akal adalah kebutuhan dasar hidup manusia; (3) ilmu mantiq atau logika adalah pendidikan tertinggi bagi akal manusia yang hanya akan dicapai hanya jika manusia menyerah kepada petunjuk Allah swt. [4]
Pribadi Kyai Dahlan adalah pencari kebenaran hakiki yang menangkap apa yang tersirat dalam tafsir Al-Manaar sehingga meskipun tidak punya latar belakang pendidikan Barat tapi ia membuka lebar-lebar gerbang rasionalitas melalui ajaran Islam sendiri, menyerukan ijtihad dan menolak taqlid. Dia dapat dikatakan sebagai suatu "model" dari bangkitnya sebuah generasi yang merupakan "titik pusat" dari suatu pergerakan yang bangkit untuk menjawab tantangan-tantangan yang dihadapi golongan Islam yang berupa ketertinggalan dalam sistem pendidikan dan kejumudan paham agama Islam. Berbeda dengan tokoh-tokoh nasional pada zamannya yang lebih menaruh perhatian pada persoalan politik dan ekonomi, Kyai Dahlan mengabdikan diri sepenuhnya dalam bidang pendidikan. Titik bidik pada dunia pendidikan pada gilirannya mengantarkannya memasuki jantung persoalan umat yang sebenarnya. Seiring dengan bergulirnya politik etis atau politik asosiasi (sejak tahun 1901), ekspansi sekolah Belanda diproyeksikan sebagai pola baru penjajahan yang dalam jangka panjang diharapkan dapat menggeser lembaga pendidikan Islam semacam pondok pesantren. Pendidikan di Indonesia pada saat itu terpecah menjadi dua: pendidikan sekolah-sekolah Belanda yang sekuler, yang tak mengenal ajaran-ajaran yang berhubungan dengan agama; dan pendidikan di pesantren yang hanya mengajar ajaran-ajaran yang berhubungan dengan agama saja. Dihadapkan pada dualisme sistem (filsafat) pendidikan ini Kyai Dahlan “gelisah”, bekerja keras sekuat tenaga untuk mengintegrasikan, atau paling tidak mendekatkan kedua sistem pendidikan itu.
Cita-cita pendidikan yang digagas Kyai Dahlan adalah lahirnya manusia-manusia baru yang mampu tampil sebagai “ulama-intelek” atau “intelek-ulama”, yaitu seorang muslim yang memiliki keteguhan iman dan ilmu yang luas, kuat jasmani dan rohani. Dalam rangka mengintegrasikan kedua sistem pendidikan tersebut, Kyai Dahlan melakukan dua tindakan sekaligus; memberi pelajaran agama di sekolah-sekolah Belanda yang sekuler, dan mendirikan sekolah-sekolah sendiri di mana agama dan pengetahuan umum bersama-sama diajarkan. Kedua tindakan itu sekarang sudah menjadi fenomena umum; yang pertama sudah diakomodir negara dan yang kedua sudah banyak dilakukan oleh yayasan pendidikan Islam lain. Namun, ide Kyai Dahlan tentang model pendidikan integralistik yang mampu melahirkan muslim ulama-intelek masih terus dalam proses pencarian. Sistem pendidikan integralistik inilah sebenarnya warisan yang musti kita eksplorasi terus sesuai dengan konteks ruang dan waktu, masalah teknik pendidikan bisa berubah sesau dengan perkembangan ilmu pendidikan atau psikologi perkembangan.
1.Peran Pendidikan K.H. Ahmad Dahlan
Filsafat yang dianut dan diyakini oleh Ahmad Dahlan adalah berdasarkan agama Islam, maka sebagai konsekuensinya logik, Ahmad Dahlan berusaha dan selanjutnya melandaskan filsafat pendidikan atas prinsip-prinsip filsafat yang diyakini dan dianutnya. Filsafat pendidikan memanifestasikan pandangan ke depan tentang generasi yang akan dimunculkan. Dalam kaitan ini filsafat dan pendidikan Ahmad Dahlan tidak dapat dilepaskan dari filsafat pendidikan Islam pada umumnya, karena yang dikerjakan oleh Ahmad Dahlan pada hakikatnya adalah prinsip-prinsip Islam yang menurut Ahmad Dahlan menjadi dasar pijakan bagi pembentukan manusia Muslim. Oleh karena itu, sebelum mengkaji orientasi filsafat pendidikan Ahmad Dahlan perlu menelusuri konsep dasar filsafat pendidikan Islam yang digagas oleh para pemikir maupun praktisi pendidikan Islam.
Meskipun tema pembaharuan pendidikan Ahmad Dahlan memperoleh perhatian yang cukup serius dari para pengkaji sejarah pendidikan Indonesia, namun sejauh ini belum ada satu karya pun yang menunjukkan bagaimana sebenarnya model filsafat pendidikan yang dikembangkan oleh Ahmad Dahlan. Untuk melangkah ke arah itu bisa dilakukan dengan beberapa pendekatan: (1) pendekatan normatif yakni bertitik tolak dari sumber-sumber otoritatif Islam (al-Qur’an dan Sunnah Nabi), terutama tema-tema pendidikan, kemudian dieksplorasi sedemikian rupa sehingga terbangun satu sistem filsafat pendidikan; (2) pendekatan filosofis yang diberangkatkan dari mazhab-mazhab pemikiran filsafat kemudian diturunkan ke dalam wilayah pendidikan; (3) pendekatan formal dengan merujuk pada hasil-hasil keputusan resmi persyarikatan; (4) pendekatan historis-filisofis yaitu dengan cara melacak bagaimana konsep dan praksis pendidikan yang dilakukan oleh tokoh-tokoh kunci dalam Muhammadiyah lalu dianalisis dengan dengan pendekatan filosofis.[5] Corak pendekatan keempat yang dipilih dalam tulisan ini, dengan menampilkan Ahmad Dahlan, pendiri Muhammadiyah, sebagai tokoh kuncinya. Benar bahwa dia belum merumuskan landasan filosofis pendidikan tapi sebenarnya ia memiliki minat yang besar terhadap kajian filsafat atau logika sehingga pada tingkat tertentu telah memberikan jalan lurus untuk perumusan satu filsafat pendidikan.
Sebagai seorang yang demokratis dalam melaksanakan aktivitas gerakan dakwah Muhammadiyah. Dan atas jasa-jasa KH. Ahmad Dahlan dalam membangkitkan kesadaran bangsa ini melalui pembaharuan Islam dan pendidikan, maka Pemerintah Republik Indonesia menetapkannya sebagai Pahlawan Nasional dengan surat Keputusan Presiden no. 657 tahun 1961. Dasar-dasar penetapan itu ialah sebagai berikut :
1.1. KH. Ahmad Dahlan telah mempelopori kebangkitan ummat Islam untuk menyadari         nasibnya sebagai bangsa terjajah yang masih harus belajar dan berbuat.
1.2. Dengan organisasi Muhammadiyah yang didirikannya, telah banyak memberikan  
       ajaran Islam yang murni kepada bangsanya. Ajaran yang menuntut kemajuan,
        kecerdasan, dan beramal bagi masyarakat dan ummat, dengan dasar iman dan   
     Islam.
1.3. Dengan organisasinya, Muhammadiyah telah mempelopori amal usaha sosial dan
        pendidikan yang amat diperlukan bagi kebangkitan dan kemajuan bangsa, dengan
        jiwa ajaran Islam.
1.4. Dengan organisasinya, Muhammadiyah bagian wanita (Aisyiyah) telah
                 mempelopori  kebangkitan wanita Indonesia untuk mengecap pendidikan.

2.Gagasan Dasar K.H. Ahmad Dahlan
Pada tahun 1912, Ahmad Dahlan pun mendirikan organisasi Muhammadiyah untuk melaksanakan cita-cita pembaharuan Islam di bumi nusantara. Ahmad Dahlan ingin mengadakan suatu pembaharuan dalam cara berpikir dan beramal menurut tuntunan agama Islam. Ia ingin mengajak ummat Islam Indonesia untuk kembali hidup menurut tuntunan al-Qur'an dan al-Hadits. Perkumpulan ini berdiri bertepatan pada tanggal 18 Nopember 1912. Dan sejak awal Dahlan telah menetapkan bahwa Muhammadiyah bukan organisasi politik tetapi bersifat sosial dan bergerak di bidang pendidikan.
Gagasan pendirian Muhammadiyah oleh Ahmad Dahlan ini juga mendapatkan resistensi, baik dari keluarga maupun dari masyarakat sekitarnya. Berbagai fitnahan, tuduhan dan hasutan datang bertubi-tubi kepadanya. Ia dituduh hendak mendirikan agama baru yang menyalahi agama Islam. Ada yang menuduhnya kiai palsu, karena sudah meniru-niru bangsa Belanda yang Kristen dan macam-macam tuduhan lain. Bahkan ada pula orang yang hendak membunuhnya. Namun rintangan-rintangan tersebut dihadapinya dengan sabar. Keteguhan hatinya untuk melanjutkan cita-cita dan perjuangan pembaharuan Islam di tanah air bisa mengatasi semua rintangan tersebut.
Pada tanggal 20 Desember 1912, Ahmad Dahlan mengajukan permohonan kepada Pemerintah Hindia Belanda untuk mendapatkan badan hukum. Permohonan itu baru dikabulkan pada tahun 1914, dengan Surat Ketetapan Pemerintah No. 81 tanggal 22 Agustus 1914. Izin itu hanya berlaku untuk daerah Yogyakarta dan organisasi ini hanya boleh bergerak di daerah Yogyakarta. Dari Pemerintah Hindia Belanda timbul kekhawatiran akan perkembangan organisasi ini. Itulah sebabnya kegiatannya dibatasi. Walaupun Muhammadiyah dibatasi, tetapi di daerah lain seperti Srandakan, Wonosari, dan Imogiri dan lain-lain tempat telah berdiri cabang Muhammadiyah. Hal ini jelas bertentangan dengan dengan keinginan pemerintah Hindia Belanda. Untuk mengatasinya, maka KH. Ahmad Dahlan mensiasatinya dengan menganjurkan agar cabang Muhammadiyah di luar Yogyakarta memakai nama lain. Misalnya Nurul Islam di Pekalongan, Ujung Pandang dengan nama Al-Munir, di Garut dengan nama Ahmadiyah. Sedangkan di Solo berdiri perkumpulan Sidiq, Amanah, Tabligh, Fathonah (SATF) yang mendapat pimpinan dari cabang Muhammadiyah. Bahkan dalam kota Yogyakarta sendiri ia menganjurkan adanya jama'ah dan perkumpulan untuk mengadakan pengajian dan menjalankan kepentingan Islam.
Gagasan pembaharuan Muhammadiyah disebarluaskan oleh Ahmad Dahlan dengan mengadakan tabligh ke berbagai kota, di samping juga melalui relasi-relasi dagang yang dimilikinya. Gagasan ini ternyata mendapatkan sambutan yang besar dari masyarakat di berbagai kota di Indonesia. Ulama-ulama dari berbagai daerah lain berdatangan kepadanya untuk menyatakan dukungan terhadap Muhammadiyah. Muhammadiyah makin lama makin berkembang hampir di seluruh Indonesia. Oleh karena itu, pada tanggal 7 Mei 1921 Dahlan mengajukan permohonan kepada pemerintah Hindia Belanda untuk mendirikan cabang-cabang Muhammadiyah di seluruh Indonesia. Permohonan ini dikabulkan oleh pemerintah Hindia Belanda pada tanggal 2 September 1921.
3.Tujuh Falsafah Ajaran K.H. Ahmad Dahlan
Dalam hal ini muridnya K.H. Ahmad Dahlan adalah KRH. Hadjid, beliau sangat tekun dan menulis apa-apa yang dipaparkan gurunya, ia rangkum dalam sebuah tulisan tujuh falsafah atau tujuh perkara pelajaran Ahmad Dahlan.Pelajaran pertama: mempelajari tentang perkataan ulama tentang manusia itu semuanya mati.Pelajaran kedua: mempelajari tentang perkataan ulama tentang manusia yang mementingkan diri-sendiri (individual).Pelajran ketiga: mempelajari tentang perkataan ulama tentang akal fikiran, perasaan, kehendak, dan perbuatan.Pelajaran keempat: mempelajari tentang perkataan ulama tentang golongan manusia dalam satu kebenaran.Pelajaran kelima: mempelajari tentang perkataan ulama tentang penyucian diri.Pelajaran keenam: mempelajari tentang perkataan ulama tentang ikhlas dalam memimpin.Pelajaran ketujuh: mempelajari tentang perkataan ulama tentang ilmu pengetahuan dibagi atas pengetahuan atau teori (belajar ilmu), dan mengerjakan, mempraktekkan (belajar amal).[6] Dalam hal ini apabila sudah mendengar, apa kita sudah melaksanakan dengan sungguh-sungguh.
4.Orientasi Filosofi Pendidikan KH.Ahmad Dahlan
Orientasi filosofis pendidikan, pendidikan Islam Ahmad Dahlan, memerlukan kepekaan dalam memahami perkembangan kehidupan dan menjawab setiap kebutuhan baru yang timbul dari cita-cita anggota masyarakat dengan strategi sebagai berikut:
1.      Mengusahakan nilai-nilai Islami dalam pendidikan Islam menjadi ketentuan standar
bagi pengembangan moral atau masyarakat yang selalu mengalami perubahan itu
2.      Mengusahakan peran pendidikan Islam mengembangkan moral peserta didik sebagai
dasar pertimbangan dan pengendali tingkah lakunya dalam menghadapi norma sekuler
3.      Mengusahakan norma Islami mampu menjadi pengendali kehidupan pribadi dalam
menghadapi goncangan hidup dalam era globalisasi ini sehingga para peserta didik mampu menjadi sumber daya insani yang berkualitas
4.      Mengusahakan nilai-nilai islami dapat menjadi pengikat hidup bersama dalam rangka
mewujudkan persatuan dan kesatuan umat Islam yang kokoh dengan tetap memperhatikan lingkungan kepentingan bangsa
5.      Mengusahakan sifat ambivalensi pendidikan Islam agar tidak timbul pandangan dikotomis.

C.Implementasi Ajaran KH.Ahmad Dahlan  Dalam Pengamalan Surat Al-Ma`un
 Gerakan dakwah  KH Ahmad Dahlan didasari dengan semangat melemahkan  dogma-dogma teologis yang mengalami  menyimpang sebagaimana digagas oleh kaum Murji’ah . Bahkan, berbagai prestasi kesalehan umat manusia secara pribadi dalam wujud ritual ibadah  pada Allah  digugat. Apakah dampak  dari dzikir kepada Allah?, apakah manfaatnya shalat?, apakah pengakuan sucimu?, terbukti bahwa kita masih sangat kerap dengan kebiasaan dan cinta kepada harta benda” kata KH Ahmad Dahlan membangkitkan kesadaran dan empati sosial murid-muridnya.Salah satu perkataan  KH Ahmad Dahlan kepada murid-muridnya adalah :
Djanganlah kamu ber-teriak2 sanggup membela agama meskipun harus menjumbangkan djiwamu sekalipun. Djiwamu tak usah kamu tawarkan, kalau Tuha menghendakinja, entah dengan djalan sakit atau tidak, tentu akan mati sendiri, Tapi beranikah kamu menawarkan harta bendamu untuk kepentigan agama? Itulah jang lebih diperluka pada waktu sekarang ini.[7] Nilai ajaran berupa ketulusan berbuat kebaikan dan mengorbankan harta benda yang ditauladankan oleh KH Ahmad Dahlan tersebut berlandaskan pada surat Al-Ma’un ayat 1-7 :
أَرَأَيْتَ الَّذِي يُكَذِّبُ بِالدِّينِ. فَذَلِكَ الَّذِي يَدُعُّ الْيَتِيمَ. وَلَا يَحُضُّ عَلَى طَعَامِ الْمِسْكِينِ. فَوَيْلٌ لِلْمُصَلِّينَ. الَّذِينَ هُمْ عَنْ صَلَاتِهِمْ سَاهُونَ. الَّذِينَ هُمْ يُرَاءُونَ. وَيَمْنَعُونَ الْمَاعُونَ (الْمَاعُونَ: 1-7)
KH Ahmad Dahlan mengajarkan tafsir surat ini berulang kali kepada para santrinya, sehingga beberapa hari pelajaran tidak bertambah. Haji Syuja’, salah satu santri beliau bertanya “kok pelajaran tidak ditambah?”. Beliau kembali bertanya kepada murid-muridnya apakah betul-betul telah dimengerti. Haji Syuja’ menyatakan bahwa ia dan kawan-kawannya telah hafal semua. Kyai bertanya, “Apa sudah diamalkan?”. Dijawab, “kami telah berulang kali membacanya ketika shalat.” “Bukan itu yang kumaksud. Diamalkan berarti dikerjakan, dipraktekkan”, jelas Kyai. “Oleh karena itu”, lanjut Kyai, “mulai pagi ini pergilah berkeliling mencari orang miskin. Kalau sudah mendapat, bawalah pulang ke rumah masing-masing. Berilah mereka sabun yang baik untuk mandi, berilah pakaian yang bersih, berilah makanan, minuman dan tempat tinggal untuk tidur di rumah kamu sekalian. Sekarang juga pengajian saya tutup dan saudara melakukan petunjuk-petunjuk saya tadi.”
Begitu  dalamkah makna surat Al-Ma’un menembus relung jiwa KH Ahmad Dahlan . Betapa tidak, dengan tujuh ayat ini, dan didukung oleh ayat-ayat lainnya, beliau mampu mengawali dakwahnya dengan aksi untuk kemanusiaan yang tercatat oleh tinta emas sejarah Islam Indonesia, di saat kita, mungkin saja, telah menghafal ratusan ayat Al-Qur’an, namun seringkali minus bukti nyata.
KH Ahmad Dahlan ketika membaca ayat ini’ : ” Tahukah kamu (orang) yang mendustakan al-Din?”. Al-Imam Ibnu Jarir al-Thabary menjelaskannya sebagai sikap mendustakan hukum dan imbalan Allah SWT. Al-Imam Al-Qurthuby menafsirkannya sebagai pengingkaran terhadap imbalan dan penghitungan Allah SWT terhadap hamba-hambaNya di hari Akhir. ”Tidakkah kau wahai Muhammad, melihat orang yang telah mendustakan hari di mana mereka akan dikembalikan, dibalas, dan diberi ganjaran (din)?”, terang Ibnu Katsir.
Al-Maraghi mengungkapkan, ayat ini menunjukkan sebuah pertanyaan dengan penuh keheranan, dengan harapan  agar  pembaca tertarik untuk mengetahui siapa yang dimaksud. Orang seperti ini telah menjerumuskan dirinya kepada sesuatu yang sangat berbahaya dan meyengsarakan dirinya; ia mendustakan suatu realitas absolut di balik yang terindera, berkenaan dengan perkara-perkara ilahiyah (ghaibiyat) yang tak kan mungkin terjangkau hakekatnya oleh manusia. Realitas tersebut hanya dapat ditangkap oleh manusia melalui bukti-bukti ciptaanNya. Semua itu (semestinya) membangkitkan naluri untuk patuh dan tunduk serta yakin akan eksistensi Allah SWT dan keesaan-Nya, membenarkan kehidupan akherat, di mana mereka aka dihadapkan kepada Allah SWT untuk menerima balasan : semua yang telah didustakan!. Diterangkan pula menurut Al-Imam Sayyid Qutb menerangkan bahwa sikap mendustakan agama diwujudkan dalam bentuk kehilangan empati dan kepedulian terhadap anak yatim, termasuk tidak tertarik untuk mengajurkan orang lain untuk memberi makanan kepada fakir miskin. Jika sikap membenarkan agama telah bersemayam mantap di hatinya, tidak mungkin ia melalaikan kewajiban sosial tersebut. Sikap tashdiq semestinya membangkitkannya untuk berbuat kebaikan kepada sesama, bukan sekedar pernyataan lisan.
Agama Islam, dalam padangan Sayyid Quthb,bukanlah agama simbol dan lambang semata. Tidaklah cuku beragama degan hanya menonjolkan simbol dan syiar ritual/ibadah saja, jika tidak didasari atas keikhlasan kepada Allah SWT. Sikap ikhlas mendorong kita untuk melakukan amal sholeh yang tercermin dalam prilaku da aksi untuyk memperbaiki dab meningkatkan tarap hidup umat manusia di muka bumi ini.
Agama Islam, lanjutnnya, bukan ula aturan-aturan yang parsial, terpilah-pilah  serta terlepas antara satu dengan yang lainnya; manusia tidak dapat bertindak dan meninggalkan sesuatu sekehendaknya. Tetapi Islam adalah manhaj ”sistem” yang saling terkait dan melengkapi, saling berkolerasi erat antara ritual vertikal dan tugas individu serta keharusan sosialnya. Semuanya berorientasi kepada kepentingan manusia dengan tujuan mensucikan hati, memperbaiki kehidupan, tolong menolong serta bahu membahu untuk sebuah karya kebaikan  dan kesalehan bersama. Inilah yang mencerminkan rahmat Allah SWT atas hamba-hambaNya.
Disinilah KH.Ahmad Dahlan menanamkan, mengapa perlunya pengamalan sekaligus menjiwai dari isi Surat Al-Ma`un  dalam kehidupan sehari-hari, sehingga ada satu-kesatuan yang kaffah pada diri tiap kaum muslim, agar tidak masuk golongan, takdzib bi al-din (mendustakan agama) berarti mengingkari keseluruhan ajaran Allah SWT yang dibawa oleh Rasulullah SAW, lahir maupun batin. Ingkari terhadap seluruh kandugan Al-Qur’an dan hadis Nabi SAW.

D. Analisa Konsep Al-Hikmah Dalam Al-Qur’an
Filsafat menurut bahasa, Kata-kata filsafat diucapkan ‘falsafah’ dalam bahasa Arab, dan berasal dari bahasa Yunani Philosophia yang berarti ‘cinta kepada pengetahuan’, dan terdiri dari dua kata, yaitu Philos yang berarti cinta (loving) dan Sophia yang berarti pengetahuan (wisdom, hikmah). Orang yang cinta kepada pengetahuan disebut “Philosophos” atau “Failasuf” dalam ucapan Arabnya. Mencintai pengetahuan adalah orang yang menjadikan pengetahuan sebagai usaha dan tujuan hidupnya, atau dengan perkataan lain orang yang mengabdikan kepada pengetahuan.Ketika filsafat muncul dalam kehidupan Islam, kemudian berkembang sehingga banyak dibicarakan oleh orang-orang Arab, tampillah beberapa filosof seperti Al-Kindi, Al-Farabi, Ibn Sina dan lain-lain, kaum sejarawan banyak menulis berbagai buku tentang kehidupan, pendapat serta pemikiran mereka, namun pemikiran-pemikiran filsafat pada kaum Muslimin lebih tepat disebut ‘Filsafat Islam‘, pengingat bahwa Islam bukan saja sekedar agama, tetapi juga kebudayaan. Pemikiran filsafat sudah barang tentu terpengaruh oleh kebudayaan Islam tersebut, meskipun pemikiran tersebut adalah Islam baik tentang problema-problemanya, motif pembinaannya maupun tujuannya, karena Islam telah memadu dan menampung aneka kebudayaan serta pemikiran dalam satu kesatuan. Dan dalam pemakaian istilah ‘ Filsafat Islam ‘ lebih banyak dipahami dalam buku-buku filsafat, seperti an-Najat dan as-Syifa dari Ibn Sina.
Dengan demikian disimpulkan bahwa filsafat yang muncul dalam kehidupan Islam  banyak dibicarakan oleh orang-orang Arab adalah Filsafat Islam, karena kegiatan pemikirannya bercorak Islam. Islam disini menjadi jiwa yang mewarnai suatu pemikiran. Filsafat disebut Islami bukan karena yang melakukan aktivitas kefilsafatan itu orang yang beragama Islam, atau orang yang berkebangsaan Arab atau dari segi objeknya yang membahas mengenai pokok-pokok keIslaman.
Hakekat Filsafat Islam ialah ’Aqal dan al-Quran. Filsafat Islam tidak mungkin tanpa ’aqal dan al-Quran. Aqal yang memungkinkan aktivitas itu menjadi aktivitas kefilsafatan dan al-Quran juga menjadi ciri keislamannya. Tidak dapat ditinggalkannya al-Quran dalam filsafat Islam adalah lebih bersifat spiritual, sehingga al-Quran tidak membatasi aqal bekerja, aqal tetap bekerja dengan otonomi penuh.Aqal dan al-Quran di sini tidak dapat dipahami secara struktural, karena jika ’aqal dan al-Quran dipahami secara struktural yang menyiratkan adanya hubungan atas bawah yang bersifat subordinatif dan reduktif, maka antara satu dengan lainnya menjadi saling mengatas-bawahi, baik aqal mengatasi al-Quran atau sebaliknya al-Quran mengatasi aqal. Jika al-Quran mengatasi aqal maka aqal menjadi kehilangan peran sebagai subjek filsafat yang menuntut otonomi penuh. Sebaliknya jika aqal mengatasi al-Quran, terbayang di sana bahwa aktivitas kefilsafatan Islam menjadi sempit karena objeknya hanya al-Quran. Oleh karena itu, Filsafat Islam adalah aqal dan al-Quran dalam hubungan yang bersifat dialektis. Aqal dengan otonomi penuh bekerja dengan semangat Quraniyah.Aqal sebagai subjek, dan sebagai subjek ia mempunyai komitmen, berupa wawasan moralitas yang bersumber pada al-Quran. ’Aqal sebagai subjek berfungsi untuk memecahkan masalah, sedangkan al-Quran memberikan wawasan moralitas atas memecahan masalah yang diambil oleh ’aqal. Hubungan dialektika ’aqal dan al-Quran bersifat fungsional.






BAB III
PENUTUP

A.  Relevansi Dan Kontekstualisasi Pemikiran K.H. Ahmad Dahlan Untuk Pendidikan  Indonesia
Untuk membangun upaya tarbiyah (pendidikan ummat manusia) tersebut, khususnya di negara Indonesia ini. maka langkah awal yang digagas Dahlan adalah gigih membina angkatan muda untuk turut bersama-sama melaksanakan upaya membangun sistem pendidikan muda muhammadiyah tersebut, dan juga untuk meneruskan dan melangsungkan cita-citanya membangun dan memajukan bangsa ini dengan membangkitkan kesadaran akan ketertindasan dan ketertinggalan ummat Islam di Indonesia. Strategi yang dipilihnya untuk mempercepat dan memperluas gagasannya tentang gerakan pendidikan Muhammadiyah ialah dengan mendidik para calon pamongpraja (calon pejabat) yang belajar di OSVIA Magelang pada saat itu dan para calon guru yang belajar di Kweekschool Jetis Yogyakarta, karena ia sendiri diizinkan oleh pemerintah kolonial untuk mengajarkan agama Islam di kedua sekolah tersebut. Dengan mendidik para calon pamongpraja tersebut diharapkan akan dengan segera memperluas gagasannya tersebut, karena mereka akan menjadi orang yang mempunyai pengaruh luas di tengah masyarakat. Demikian juga dengan mendidik para calon guru yang diharapkan akan segera mempercepat proses transformasi ide tentang gerakan dakwah Muhammadiyah, karena mereka akan mempunyai murid yang banyak. Oleh karena itu, Dahlan juga mendirikan sekolah guru yang kemudian dikenal dengan Madrasah Mu'allimin (Kweekschool Muhammadiyah) dan Madrasah Mu'allimat (Kweekschool Istri Muhammadiyah). Dahlan mengajarkan agama Islam dan tidak lupa menyebarkan cita-cita pembaharuannya.
            Dalam kontes sekarang, nampaknya bentuk strategis yang dipilih oleh KH.Ahmad Dahlan sangatlah relevan, dalam rangka mempercepat transformasi pengetahuan keagamaan yang terintegrasi dalam berbagai kegiatan kehidupan harus menjiwai tiap pendidik-pendidik muslim di berbagai jenis lembaga pendidikan.

B.Kesimpulan
Filsafat Pendidikan Islam K.H. Ahmad Dahlan tidak terlepas dari peran dan amal usaha yang ia terapkan kepada umatnya, dan juga gerakan yang didirikannya Muhammadiyah di Kampung Kauman Yogyakarta, pada tanggal 8 Dzulhijjah 1330 H/18 Nopember 1912. ia bukan seorang pemikir Islam dan juga bukan seorang intelektual. Tapi ia seorang tokoh dalam memerankan pendidikannya melalui dakwah. Maka jarang sekali kita melihat karya Ahmad Dahlan. Bahkan para murid-muridnya yang selalu mencatat apa yang beliau sampaikan. Seperti KRH, Hadjid yang menulis tentang pelajaran Ahmad Dahlan mengenai 7 falsafah ajaran & 17 kelompok ayat al-Qur’an.

C.Saran dan Kritik
Saran saya terhadap filsafat pendidikan Islam menurut K.H. Ahmad Dahlan adanya peran dalam beramal dan berusaha. Itu sebenarnya yang dikedepankan oleh K.H. Ahmad Dahlan. Walaupun pada saat-saat ini gagasan yang ia tancapkan di ibu pertiwi sanga-lah urgens, bagi pemikir modernis di Indonesia.
Kritik saya terhadap K.H. Ahmad Dahlan, dia seorang tipe man of action. Tidak memberi karya satupun. Tapi mampu memperi warisan intelektualnya, ini sungguh magic bagi intelektual manapun. Pasti dalam pribadinya ada kekurangan dalam gagasan beliau, akan tetapi mampu membuat pendidikan Islam di Indonesia ini menjadi modern.

































DAFTAR PUSTAKA



Al-Syaibany, Omar Mohammad Al-Toumy.. Terj. Hasan Langgulung. Falsafah Pendidikan Islam. Jakarta: Bulan Bintang. 1979
Bakker, Anton dan Achmad Charris Zubair., Metodologi Penelitian Filsafat, Yogyakarta: Kanisius 1990
Hadjid,. Pelajaran KHA Dahlan; 7 Falsafah Ajaran & 17 Kelompok Ayat Al-Qur’an, Yogyakarta: Universitas Muhammadiyah, Malang : Malang Press. 2005
Idi, Abdullah dan Toto Suharto, Revitalisasi Pendidikan Islam, Yogyakarta: Tiara Wacana, 2006.
Kartanegara, Mulyadi, Gerbang Kearifan, Jakarta: Lentera Hati. 2006
M Yusron Asrofie, Kyai Haji Ahmad Dahlan Pemikiran & Kepemimpinannya (Yogyakarta: MPKSDI-PPM, 2005), Cet. 1, hal. 68-69
Mulkhan, Abdul Munir., Warisan Intelektual K.H. Ahmad Dahlan dan Amal Muhamammadiyah, Yogyakarta: PT Percetakan Persatuan. 1990
Mulkhan, Abdul Munir., Pesan dan Kisah Kiai Ahmad Dahlan; dalam Hikmah Muhammadiyah, Yogyakarta: suara muhammadiyah. 2007
Nizar, Samsul., Filsafat Pendidikan Islam: Pendekatan Histories, Teoritis dan Praktis, Jakarta: Ciputat Press. 2002
Sidi, Indra Djati., Menuju Masyarakat Belajar; Menggagas Paradigma Baru Pendidikan. Jakarta: Paramadina. 2003
Sucipto, Hery, Menegakkan Indonesia; Pemikiran Dan Kontribusi 50 Tokoh Bangsa Berpengaruh. Jakarta: Grafindo 2004
Tim Pembina Al-Islam dan Kemuhammadiyahan Universitas Muhammadiyah Malang, Muhammadiyah; Sejarah, Pemikiran dan Amal Usaha, Yogyakarta: PT Tiara Wacana Yogya dan Universitas Muhammadiyah, Malang : Malang Press 1990.
Yusuf, M. Yunan dan Piet Hizbullah Khaidir. Filsafat Pendidikan Muhammadiyah (naskah awal), Jakarta: Dikdasmen PP. Muhammadiyah. 2000


[1] Munir Mulkhan, Pesan dan Kisah K.H. Ahmad Dahlan Dalam Hikmah Muhammadiyah, Yogyakarta: Suara
  Muhammadiyah, 2007, h. 203-204

[2] Indra Djati Sidi , Menuju Masyarakat Belajar, Menggagas Paradigma Baru Pendidikan, Jakarta:  
  Paramadina:2001 hal 23-24
[3] Omar Mohammad Al-Toumy Al-Syaibany. Falsafah Pendidikan Islam. Terjemahan Hasan Langgulung.
  Jakarta: Bulan Bintang. 1979. h. 7-9

[4] Abdul Munir Mulkhan, Warisan Intelektual K.H. Ahmad Dahlan dan Amal Muhamammadiyah, Yogyakarta:
   PT Percetakan Persatuan, 1990 h. 46

[5] Bakker, Anton dan Achmad Charris Zubair. 1990, Metodologi Penelitian Filsafat, Yogyakarta: KANISIUS.

[6] Hadjid, Pelajaran KHA Dahlan; 7 Falsafah Ajaran & 17 Kelompok Ayat Al-Qur’an, Yogyakarta: Universitas
  Muhammadiyah Malang Press. 2005. h. 9-10

[7] M Yusron Asrofie, Kyai Haji Ahmad Dahlan Pemikiran & Kepemimpinannya (Yogyakarta: MPKSDI-PPM, 2005), Cet. 1, hal. 68-69

Comments (1)

On 28 September 2013 pukul 23.13 , Unknown mengatakan...

sangat bagus sekali,,,, syukron,