I.                  Pendahuluan
            Menurut ahli sosiologi, kemajuan dunia pendidikan dapat dijadikan cermin kemajuan masyarakat, dan dunia pendidikan yang amburadul juga dapat menjadi cermin terhadap kondisi masyarakatnya yang juga penuh persoalan.[1] Mulyana menyatakan, bahwa pendidikan memberikan kontribusi yang sangat besar terhadap kemajuan suatu bangsa dan merupakan wahana dalam menerjemahkan pesan-pesan konstitusi serta sarana dalam membangun watak bangsa (Nation Character Building).[2]
            Memasuki abad ke 21, isu tentang perbaikan sektor pendidikan di Indonesia mencuat ke permukaan, tidak hanya dalam jalur pendidikan umum, tapi semua jalur dan jenjang pendidikan, termasuk pendidikan Islam. Karena kelemahan proses dan hasil pendidikan dari sebuah jalur pendidikan akan mempengaruhi indeks keberhasilan pendidikan secara keseluruhan[3].
            Memang terasa janggal, dalam suatu komunitas masyarakat muslim terbesar, pendidikan Islam harusnya bisa mempunyai peran yang cukup besar dalam dunia pendidikan bangsa ini. Namun pada kenyataanya pendidikan Islam di Indonesia masih menghadapi berbagai masalah dalam berbagai aspek. Lembaga –lembaga pendidikan Islam belum menemukan bentuk idealnya yang mampu mengembangkan potensi umat Islam dalam mengejar ketertinggalannya dari Barat modern. Oleh karena itu setiap upaya kearah pencarian sistem pendidikan yang merespon tuntutan masyarakat dan umat Islam perlu didukung.
Prof. Dr. Azyumardi Azra, M.A., sebagai salah satu tokoh dalam dunia pendidikan Indonesia banyak mengungkap permasalahan pendidikan Islam. Buku ini adalah kajian reflektif historis tentang pendidikan Islam dalam perjalananan menuju milenium baru. Adapun sistematika makalah ini, diawali dengan biografi dari penulis buku. Pada bab pembahasan adalah isi/content buku “Tradisi Dan Modernisasi Menuju Milenium Baru”, karya Prof. Dr.Azyumardi Azra, M.A. kemudian pada bab selanjutnya adalah komentar/analisa dari reviewer.

II.               Biografi
AZYUMARDI AZRA[4]
Lahir di Lubuk Alung, Sumatera Barat, 04 Maret 1955. Menikah dengan Ipah Farihah, dikaruniai 4 anak: Raushanfikri Usada, Firman El-Amny Azra, Muhammad Subhan Azra, dan Emily Sakina Azra. Pendidikan yang ditempuhnya meliputi Fakultas Tarbiyah IAIN Jakarta pada tahun 1982, Master of Art (M.A.) pada Departemen Bahasa dan Budaya Timur Tengah, Columbia University tahun 1998, Master of Philosophy (M.Phil.) pada Departemen Sejarah, Columbia University tahun 1990, dan Doctor of Philosophy Degree tahun 1992, dengan disertasi berjudul The Transmission of Islamic Reformism to Indonesia : Network of Middle Eastern and Malay-Indonesian ‘Ulama ini the Seventeenth and Eighteenth Centuries. Tahun 2004 disertasi yang sudah direvisi diterbitkan secara simultan di Canberra (Allen Unwin dan AAAS), Honolulu (Hawaii University Press), dan Leiden, Negeri Belanda (KITLV Press).
 Saat ini (sejak Desember 2006) menjabat Direktur Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta. Sebelumnya sejak tahun 1998 hingga akhir 2006 Azyumardi Azra adalah Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Pernah menjadi Wartawan Panji Masyarakat (1979-1985), Dosen Fakultas Adab dan Fakultas Tarbiyah IAIN Syarif Hidayatullah, Jakarta (1992-sekarang), Guru Besar Sejarah Fakultas Adab IAIN Jakarta, dan Pembantu Rektor I IAIN Syarif Hidayatullah, Jakarta (1998). Ia juga merupakan orang Asia Tenggara pertama yang di angkat sebagai Professor Fellow di Universitas Melbourne, Australia (2004-2009), dan anggota Dewan Penyantun (Board of Trustees) International Islamic University Islamabad Pakistan (2004-2009).
Di organisasi, ia pernah menjadi Ketua Umum Senat Mahasiswa Fakultas Tarbiyah IAIN Jakarta (1979-1982), Ketua Umum Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Cabang Ciputat (1981-1982), Anggota Selection Committee Toyota Foundation & The Japan Foundation (1998-1999), Anggota SC SEASREP (Southeast Asian Studies Regional Exchange Program) (1998), Pengurus Masyarakat Sejarawan Indonesia (MSI) (1998-sekarang), Himpunan Indonesia untuk Pengembangan Ilmu-Ilmu Sosial (HIPIIS), Anggota the International Association of Historian of Asia (IAHA) (1998-sekarang), Visiting Fellow pada Oxford Centre for Islamic Studies, Oxford University (1994-1995), Dosen Tamu University of Philippines dan University Malaya (1997), External Examiner, PhD Program University Malaya (UM) (1998-sekarang), Anggota Dewan Redaksi Jurnal Ulumul Quran, Anggota Dewan Redaksi Islamika, Pemimpin Redaksi Jurnal Studia Islamika, Wakil Direktur Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM) IAIN Jakarta, Anggota Redaksi Jurnal Quranic Studies, SOAS/University of London, dan Jurnal Ushuludin University Malaya, Kuala Lumpur.
Pada awalnya sesungguhnya Azyumardi tidaklah berobsesi atau bercita-cita menggeluti studi keIslaman. Sebab, Dia lebih berniat memasuki bidang pendidikan umum di IKIP. Adalah desakan ayahnya, yang menyuruh Azyumardi masuk ke IAIN sehingga dia kini di kenal sebagai tokoh intelektual Islam Indonesia. Dia lahir dari ayah Azikar dan Ibu Ramlah. Azyumardi Azra kini dikenal sebagai Profesor yang ahli sejarah, sosial dan intelektual Islam dan tak kurang telah menulis 18 buku tentang Islam. Koleksi bukunya sudah mencapai sekitar 15.000 judul buku.
Kembali ke Jakarta setelah selesai Program Ph.D. di Columbia University, pada tahun 1993, Azyumardi mendirikan sekaligus menjadi pemimpin redaksi Studia Islamika, sebuah jurnal Indonesia dalam bahasa Inggris dan Arab untuk studi Islam di Asia Tenggara. Kembali melalang buana, pada tahun 1994-1995 sebagai Post-Doctoral Fellow Southeast Asian Studies pada Oxford Centre of Islamic Studies, Oxford University, Inggris, sambil mengajar sebagai dosen pada St. Anthony College. Azyumardi pernah pula menjadi Profesor Tamu pada University of Philippines, Filipina dan University Malaya, Malaysia, keduanya di tahun 1997. Selain itu, dia adalah anggota dari Selection Committee of Southeast Asian Regional Exchange Program (SEASREP) yang diorganisir oleh Toyota Foundation dan Japan Center, Tokyo, Jepang antara tahun 1997-1999.
Di tahun 2001, Azyumardi Azra memperoleh kepercayaan sebagai Profesor Tamu Internasional pada Departemen Studi Timur Tengah, New York University (NYU). Sebagai dosen dia antara lain memberi ceramah dan kuliah pada NYU, Harvard University (di Asia Centre), serta pada Columbia University. Dia juga dipercaya menjadi pembimbing sekaligus penguji asing untuk tesis dan disertasi di University Malaya, University Kebangsaan Malaysia, University of Leiden, University of Melbourne, Australian National University,dan lain-lain.
Selain menulis beliau juga aktif mempresentasikan makalah pada berbagai seminar dan workshop nasional maupun internasional. Pria yang pernah tercatat sebagai wartawan “Panji Masyarakat” di tahun 1979-1985 ini telah menulis dan menerbitkan buku antara lain berjudul Jaringan Ulama (tahun 1994), Pergolakan Politik Islam (1996), Islam Reformis (1999), Konteks Berteologi di Indonesia (1999), Pendidikan Islam : Tradisi dan Modernisasi Menuju Milenium Baru (1999), Esei-Esei Pendidikan Islam, dan Cendikiawan Muslim (1999), Renaisans Islam di Asia Tenggara (buku yang memenangkan penghargaan nasional sebagai buku terbaik untuk kategori ilmu-ilmu sosial dan humaniora di tahun 1999, Islam Substantif (2000), Historiografi Islam Kontemporer (2002), Paradigma Baru Pendidikan Nasional (2002), Reposisi Hubungan Agama dan Negara (2002), Menggapai Solidaritas (2002), Konflik Baru Antar Peradaban, Islam Nusantara- Jaringan Global dan Lokal, dan Surau; Pendidikan Islam Tradisional Dalam Transisi dan Modernisasi (2003); Shari’a and Politics (2004). Pada tahun 2002, ia memperoleh award sebagai Penulis Paling Produktif dari Penerbit Mizan.

III.           Pembahasan

Pendidikan Islam : Tradisi Dan Tantangan Milenium Baru.
Prof. Dr.Azyumardi Azra, M.A. adalah doktor dan guru besar sejarah namun pandangannya tentang pendidikan Islam tidak diragukan. Dalam bab awal buku ini Ia mengemukakan pengertian dasar pendidikan Islam dengan mengambil filosofis dari para pemikir Islam sebelumnya. Bahwa dalam pengertian pendidikan Islam terkandung pandangan-pandangan dasar Islam berkenaan dengan manusia dan signifikasi ilmu pengetahuan. Manusia, menurut Islam adalah makhluq paling mulia dan unik. Manusia dalam Islam adalah makhluk rasional, sekaligus mempunyai hawa nafsu kebinatangan. Dalam kerangka keunikan manusia dengan berbagai kemungkinan yang terbuka bagi dirinya itu, maka ilmu pengetahuan –dalam pengertian yang amat luas, menduduki tempat yang amat penting dalam kehidupan manusia. Pengetahuan dalam arti luas tadi bukan hanya untuk menyempurnakan kehidupan dan fungsinya sebagai khalifah dimuka bumi, tetapi lebih-lebih lagi dalam pertanggung jawaban eksistensialnya di hadapan Tuhan.
            Pendidikan Islam adalah salah satu aspek saja dari ajaran Islam secara keseluruhan. Karenanya tujuan pendidikan Islam tidak terlepas dari tujuan hidup manusia dalam Islam. Tujuan hidup manusia dalam Islam inilah yang dapat disebut juga sebagai tujuan akhir pendidikan Islam.[5]
            Selain tujuan umum tersebut, tentu terdapat pula tujuan khusus yang lebih spesifik menjelaskan apa yang ingin dicapai melalui pendidikan Islam. Tujuan khusus ini lebih praktis sifatnya, sehingga konsep pendidikan Islam jadinya tidak sekedar idealisasi ajaran-ajaran Islam dalam pendidikan. Dengan kerangka tujuan yang lebih praxis hal itu dapat dirumuskan sebagai harapan-harapan yang ingin dicapai didalam tahap-tahap tertentu proses pendidikan, sekaligus dapat pula dinilai hasil-hasil yang telah dicapai.
            Dasar-dasar pendidikan Islam, secara prinsipil diletakkan pada dasar-dasar ajaran Islam dan seluruh perangkat kebudayaannya, yaitu :
  1. Dasar pendidikan Islam pertama adalah, al-Quran dan Sunnah.
  2. Dasar pendidikan Islam kedua adalah, nilai-nilai sosial kemasyarakatan yang tidak bertentangan dengan ajaran al-Quran dan Sunnah atas prinsip mendatangkan kemanfaatan dan menjauhkan kemudharatan bagi manusia.
  3. Dasar pendidikan Islam ketiga adalah, warisan pemikiran Islam. Dalam hal ini hasil pemikiran para ulama, filosof, cendekiawan muslim, khususnya dalam pendidikan.
Dari dasar-dasar pendidikan Islam itulah kemudian dikembangkan suatu sitem pendidikan yang mempunyai karakteristik tersendiri yang berbeda dengan sistem-sistem pendidikan lainnya. Secara singkat karakteristik pendidikan Islam adalah sebagai berikut[6] :
1. karakteristik Pertama pendidikan Islam, adalah penekanan  bahwa pencarian ilmu pengetahuan, penguasaan dan pengembangan atas dasar ibadah kepada Allah.
2. karakteristik Kedua pendidikan Islam, adalah pengakuan akan potensi dan kemampuan seseorang untuk berkembang dalam saauatu kepribadian. Setiap pencari ilmu dipandang sebagai makhluk tuhan yang perlu dihormati dan disantuni agar potensi-potensi yang dimilikinya dapat teraktualisasi dengan sebaik-baiknya.
3. karakteristik ketiga pendidikan Islam, adalah pengamalan ilmu pengetahuan atas dasar tanngung jawab kepada tuhan dan masyarakat manusia. Disini pengetahuan bukan hanya untuk diketahui dan dikembangkan, melainkan sekaligus dipraktekkan dalam kehidupan nyata.

Hampir menjadi semacam kesepakatan umum bahwa, bahwa peradaban masa depan adalah peradaban yang dalam banyak hal didominasi ilmu (khususnya sains), yang pada tingkat praktis dan penerapan menjadi tehnologi. Dengan demikian, tantangan bagi masyarakat-masyarakat muslim dibagian dunia manapun untuk mengembangkan sains dan teknologi sekarang dan masa datang tidak lebih ringan.
Pembicaraan tentang rekonstruksi peradaban Islam melalui ilmu dan teknologi, akan selalu melibatkan pembahasaan mengenai kedudukan dan tradisi keilmuan dalam Islam. Secara singkat dapat dikemukakan, bahwa Islam secara doktrinal sangat mendukung pengembangan ilmu. Hasil dari karakter pengembangan ilmu itu adalah bahwa masyarakat muslim pada masa lampau, berhasil mencapai kemajuan peradaban dan mempunyai kebanggaan sebagai pusat riset intelektual tehnik. Hanya setelah kekalahan demi kekalahan dibidang militer muslim sejak abad 15, kaum muslim mulai kehilangan supremasi keilmuan dan menjadi konservatif untuk mempertahankan identitas dasarnya yang diyakini terancam. Pada saat yang sama ilmu-ilmu Islam yang telah ditarnsmissikan ke Eropa mulai mengantarkan masyarakat barat keambang kebangkitan ilmu dan teknologi.
Perbincangan tentang Islamisasi ilmu dan teknologi, bukan tidak bermanfaat. Ia dapat merupakan langkah awal untuk membangun paradigma lebih Islami, bukan hanya pada tingkat mayarakat muslim tetapi juga pada tingkat global.
Azumardi Azra mengidentifikasi masalah-masalah pokok seputar pengembangan sains dalam pendidikan Islam, yakni :
  1. Lemahnya masyarakat ilmiah
  2. Kurang integralnya kebijaksanaan sains nasional
  3. Tidak memadainya anggaran penelitian
  4. Kurangnya kesadaran dikalangan sektor ekonomi tentang pentingnya penelitian ilmiah
  5. Kurang memadainya fasilitas perpustakaan, dokumentasi dan pusat informasi
  6. Isolasi ilmuwan
  7. Birokrasi, restriksi dan kurangnya insentif[7]

Sejarah telah mencatat bahwa studi Islam telah berkembang sejak masa awal dunia Islam. Tumbuhnya lembaga pendidikan diilhami oleh ajaran Islam itu sendiri. Konsep yang melatarbelakangi beragamnya keberadaan studi Islam di lembaga pendidikan tinggi menimbulkan perbincangan menyangkut susunan mata kuliah, kurikulum, silabus, pengadaan staf pengajar yang baik. Lembaga pendidikan Islam sebagai salah satu pusat kemajuan manusia harus mengambil peran dalam membangun jalan tersebut demi kemanusiaan.
Namun demikian, setelah perbincangan mengenai tantangan era milenium. Terlepas dari perkembangan ilmu dan teknologi yang pesat, setidaknya dalam beberapa dekade terakhir, semakin banyak orang tertarik untuk melihat kembali agama-agama dan ajaran-ajaran spiritual. Karena situasi yang menyimpang, yang disebabkan oleh perubahan yang sangat cepat dalam semua aspek kehidupan banyak orang merasakan bahwa mereka membutuhkan sesuatu untuk dipegang dengan kuat.
 Berkaitan dengan perkembangan mutakhir yang dialami agama-agama didunia, sebenarnya tidak perlu menghawatirkan masa depan lembaga pendidikan Islam. Namun sistem dan muatan  pendidikan Islam itu sendiri harus ditingkatkan, sehingga dapat memenuhi kebutuhan dunia modern. Dengan mengembangkan aspek-aspek tertentu, pendidikan Islam dapat diharapkan memberikan sumbangan yang lebih baik bagi umat manusia.
Sementara itu keberadaan pendidikan Islam dan pengembangan SDM dalam era globalisasi masih dibahas pada bab pertama ini. Dilihat dari tuntutan internal dan tantangan eksternal global tadi, amaka diantara keunggulan yang mutlak dimiliki bangsa dan negara Indonesia adalah penguasaan sains dan keunggulan kualitas sumberdaya manusia (SDM). Selain itu diungkapkan juga beberapa dilema pesantren dalam menyiapkan calon ulama yang berwawasan luasPeningkatan kualitas SDM melalui pendidikan merupakan salah satu cara paling efektif untuk mengentaskan kemiskinan, walaupun ini mungkin memerlukan waktu yang panjang.
Pendidikan dalam masyarakat modern atau masyarakat yang tengah bergerak kearah modern (modernizing) pada dasarnya berfungsi untuk memberikan kaitan antara anak didik dan lingkungan sosio kulturalnya yang terus berubah. Dalam banyak hal pendidikan secara sadar digunakan sebagai instrumen untuk perubahan dalam sistem politik dan ekonomi. Kemunculan modernisasi pendidikan Islam di Indonesia berkaitan erat dengan gagasan modernisme Islam di kawasan ini. gagasan modernisme Islam pada lapangan pendidikan direalisasikan dengan pembentukan lembaga-lembaga pendidikan modern yang mengadopsi sistem pendidikan kolonial belanda. Pemrakarsa pertama dalam hal ini adalah organisasi-organisasi “modernis” Islam seperti Jami’at Khair, al-Irsyad, Muhammadiyah dll.
Menurutnya sistem lembaga pendidikan tinggi Islam harus diperbaharui, kurikulum harus ditingkatkan dengan memasukkan topik-topik beragam dan menarik. Beberapa aspek ajaran dan warisan Islam dapat dipandang sebagai cabang pokok ilmu-ilmu humaniora yang wilayah studinya mencakup agama, falsafah, etika, spiritualitas, satra, seni, arkeologi, sejarah. Adalah mungkin untuk mengembangkan bidang studi Islam kepada bidang ilmu-ilmu sosial lainnya.
Kerangka dasar modernisasi pendidikan Islam secara keseluruhan adalah bahwa modernisasi pemikiran dan kelembagaan Islam, merupakan prasyarat bagi kebangkitan kaum muslim dimasa modern. Oleh karenanya menurutnya  pemikiran dan kelembagaan Islam -termasuk- pendidikan, haruslah dimodernisasi, atau dalam bahasa sederhana  diperbaharui sesuai dengan kerangka “modernitas”, mempertahankan pemikiran kelembagaan Islam “tradisional” hanya akan memperpanjang nestapa ketidakberdayaan kaum muslim dalam berhadapan dengan kemajuan dunia modern.
Pada bagian kedua buku ini azyumardi Azra membahas persoalan seputar pendidikan Islam Indonesia secara historis. Pembicaraan seputar keberadaan pesantren dan surau hingga pendidikan tinggi Islam. Pembahasan pesantren sebagai lembaga pendidikan tradisional Islam yang masih tetap bertahan sampai hari ini masih menjadi pertanyaan dasar yang kiranya cukup menarik untuk terus dicermati. Meski selanjutnya beliau mulai mengarah pada upaya perlunya sebuah kontinuitas dan perubahan.
 Bertahannya pesantren sampai saat ini mengisyaratkan bahwa dunia Islam tradisi dalam segi-segi tertentu masih tetap relevan ditengah deru modernisasi.[8] Dengan kata lain beliau mengungkapkan bahwa pesantren mampu bertahan bukan hanya karena kemampuannya untuk melakukan adjusment dan reajdusment, tetapi juga karena karakter essensialnya, sebagai lembaga yang tidak hanya identik dengan makna keIslaman, tetapi juga mengandung makna keaslian Indonesia (indigenous). Namun gelombang santrinisasi yang terus berlangsung mengakibatkan harapan kepada pesantren semakin meningkat.
Gambaran Azra dalam mengungkapkan potret pendidikan Islam dari Tradisi lama berlanjut ke sistem modern adalah ketika secara runtut Azra menyampaikan sejarah surau dan kondisi pesantren pada masa awal. Kondisi ini terus mengalami perubahan seiring dengan tuntutan  perubahan zaman, hingga pada akhirnya Azra menceritakan munculnya sekolah-sekolah modern dengan konsep baru yang menjadi impian masyarakat tersebut. Diantara sekolah-sekolah unggulan yang diangkat adalah Al-Azhar, SMU Madania, Insan Cendekia, dan lainnya.
Masih dalam bab yang sama, juga dikemukakan persoalan pemberdayaan dan peran serta masyarakat. Ditulis dalam buku ini bahwa dalam sejarah pendidikan Islam, masyarakat muslim dalam skala besar bukan hanya berperan serta (sekedar nimbrung) tetapi bahkan mengambil posisi terdepan dalam pendirian, pengembangan, dan pemberdayaan pendidikan keagamaan[9]. Meski dalam dasawarsa terakhir, terdapat dua kecenderungan lain dikalangan masyarakat muslim. Kecenderungan pertama : adalah mulai berkembangnya hasrat dan keinginan masyarakat muslim untuk memberikan porsi lebih besar kepada pemerintah dalam upaya pemberdayaan pendidikan dalam berbagai segi. Kecenderungan kedua : adalah terjadinya konsolidasi sumber-sumber daya dan dana dikalangan masyarakat muslim sendiriuntuk membangun perguruan Islam yang berkualitas.
Kenyataan keterlibatan masyarakat muslim dalam posisi ini disampaikan melalui beberapa data sekolah Islam dan madrasah dan swasta. Dari sini menunjukkan bahwa masyarakat muslim tidak sekedar ‘berperan serta” tetapi telah memikul bagian terbesar dari dari tanggung jawab kependidikan Islam. Meski demikian, peran serta masyarakat muslim bukan tidak bisa dituntut lebih besar lagi. Secara garis besar azyumardi Azra menganalisis peningkatan “peran serta” pemberdayaan itu sebagai berikut :
a.                 peningkatan peran serta masyarakat dalam pemberdayaan manajemen pendidikan.
b.                 peningkatan peran serta masyarakat dalam pengembangan pendidikan yang quality oriented, yakni pendidikan berkualitas.
c.                 peningkatan peran serta masyarakat dalam pengelolaan sumber-sumber belajar lain yang terdapat dalam masyarakat.[10]
Bab III, membahas kajian seputar IAIN dan Kajian Islam, antara tradisi dan pembaharuan. Diawali dengan pengertian cendekiawan, (manusia dengan karakteristik yang menekankan penggunaan intelek bukan hanya untuk hal-hal yang bersifat praktis tetapi lebih berorientasi pada pengembangan ide), bab ini pada dasarnya adalah sebuah diskursus tentang eksisitensi perguruan tinggi Islam (dalam perspektif ini IAIN). Sebagai sebuah lembaga yang diasumsi sebagai pencetak kaum intelektual Islam, hingga saat ini masih banyak kekurangan dan kelemahan yang dihadapinya, terutama dalam masalah mutu ilmiah mahasiswa dan tenaga pengajar. 
Belum tercapainya standar ilmiah yang memadai, selain karena kelemahan penguasaan dua bahasa asing, tetapi lebih jauh disebabkan situasi yang kondusif  kearah itu belum diciptakan sivitas akademika IAIN. Interaksi ilmiah antara dosen dan mahasiswa atau sesama kedua pihak belum berpegang pada standar-standar ilmiah tetapi justru pada birokrasi dan lebih parah lagi mungkin feodalisme. Selain itu sistem pendidikan dan perkuliahan yang berlangsung kebanyakan masih menggunakan the banking concept of education (pendidikan ala bank), bukan problem posing education (pendidikan yang kritis).[11]
Justru yang patut dicatat adalah peran yang dimainkan organisasi ekstra intituter[12] dalam upaya menembangkan anggota-anggotanya (yang notabene mayoritas mahasiswa IAIN) dengan berbagai ketrampilan dan pengetahuan lainnya yang tidak diperoleh dibangku kuliah. Kegiatan-kegiatan yang mereka lakukan memberikan andil yang tidak kecil dalam proses mobilitas intelektual dikalangan mahasiswa.
 Subtansi bab ini lebih jauh memaparkan tentang pentingnya studi Islam. IAIN  sebagai perguruan tinggi khusus agama yang terpisah dari universitas umum, sangat tidak berlebihan jika IAIN memposisikan dirinya sebagai pusat studi Islam yang memadukan kajian keIslaman pada ketiga kawasan (Barat Eropa, Timur Tengah dan Asia), yang memiliki kelebihan dan kelemahan masing-masing. Meski hal itu adalah upaya berat, tetapi amat baik untuk menciptakan pakar-pakar muslim yang benar-benar mumpuni dalam melihat, memahami dan menjelaskan Islam dengan berbagai aspeknya guna menjawab kebutuhan dunia modern.

IV.            Komentar/Analisis
Sebagai seorang guru besar sejarah cirikhas dari tulisan ini adalah adanya kesinambungan dan perubahan. Kata kunci untuk memahami pemikiran Azra adalah bagaimana menempatkan permasalahan abad 21 sebagai tantangan pendidikan Islam Indonesia secara keseluruhan. Pada abad ini diperlukan upaya pembaharuan pemikiran pendidikan Islam dengan restrukturisasi sistem dan kelembagaan. Salah satunya adalah mengubah cara pandang yang menganaktirikan ilmu pengetahuan dan teknologi.[13]
Pada awal pembahasan bab I, kami menemukan ada teks previewing yang cukup sebagai bahan awal memasuki bab ini. Namun saat melanjutkan pada sub bab dan bab berikutnya kami temukan pokok bahasan yang diulang,[14] selain pengulangan beberapa materi yang sama, juga terlihat kurang adanya keruntutan dalam sistematikanya. Demikian pula halnya dengan penyelasaian masalah dalam pokok bahasan tertentu. Hal ini dikarenakan tulisan dalam buku ini lebih bersifat pokok-pokok pemikiran global dari penulis buku, jadi meskipun sekilas ada solusi alternatif dari permasalahan namun bukan bersifat teoritis praktis.
Pada bab I, Azyumardi pengertian dasar pendidikan Islam beserta tujuan umum dan husus didalamnya, akan tetapi beliau tidak menjelaskan problematika dari pengertian dasar pendidikan Islam tersebut. Tujuan hidup manusia dalam Islam inilah yang dapat disebut juga sebagai tujuan akhir pendidikan Islam. Sebagaimana direkomendasikan Konferensi Pendidikan Islam I di Jeddah[15], bahwa tujuan pendidikan Islam antara lain untuk menciptakan kepribadian manusia secara total untuk memenuhi pertumbuhan dalam segala aspeknya sesuai dengan yang diidamkan Islam. Ini mempunyai arti sebagai realisasi taqwa kepada Allah. Dan taqwa sebagai kata kunci sering tidak terjabarkan secara operasional sehingga mudah dalaam menentukan alat evaluasi pendidikan.
Maka upaya Pengembangan materi pendidikan Islam sejak mula perkembangannya senantiasa meletakkan pandangan filosofisnya kepada sasaran sentralnya yaitu peserta didik sebagai makhluk Tuhan yang memiliki potensi fitrah dimana religiusitas Islami menjadi intinya, dikembangkan secara vertikal dan horisontal menuju kehidupan lahir dan batin yang bahagia.[16]
Jika Azra berpendapat bahwa ada 3 karakteristik pendidikan Islam, maka  karakteristik pendidikan Islam menurut Abdurrahman An-Nahlawi adalah :
1.         Memiliki sistem pengajaran dan materi yang selaras dengan fitrah manusia.
2.         Harus mewujudkan tujuan pendidikan Islam.
3.         Harus sesuai dengan tingkatan pendidikan.
4.         Memperhatikan tujuan-tujuan masyarakat yang realistis.
5.         Tidak bertentangan dengan konsep-konsep Islam.
6.         Harus realistis sehingga dapat diterapkan selaras dengan kesanggupan Negara.
7.         Harus memilih metode yang realistis sehingga dapat diadaptasi ke dalam berbagai kondisi.
8.         Harus efektif, dan dapat memberikan hasil pendidikan yang bersifat behavioristik
9.         Harus sesuai dengan berbagai tingkatan usia anak didik.
10.     Memperhatikan aspek pendidikan tentang segi-segi perilaku yang bersifat aktivitas langsung.[17]

Sehubungan dengan peningkatan “peran serta” pemberdayaan masyarakat dalam pendidikan Islam kiranya perlu ditindak lanjuti secara konseptual yang lebih praktice. Misalnya saja peningkatan peran serta masyarakat dalam pemberdayaan manajemen pendidikan. Karena pada kenyataanya penerapan manajemen di lembaga Islam menghadapi berbagai kendala  baik yang bersifat teologis, politik, dan ekonomi financial.[18]
Sementara itu berkaitan dengan pemikirannya bahwa lembaga pendidikan Islam “harus diperbaharui sesuai dengan kerangka “modernitas”, mempertahankan pemikiran kelembagaan Islam “tradisional” hanya akan memperpanjang nestapa ketidakberdayaan kaum muslim dalam berhadapan dengan kemajuan dunia modern”. Menurut kami sangat dipengaruhi oleh idealisme beliau dalam rangka  menghapus pen-dikotomi-an ilmu pengetahuan. Gagasan Azra mengenai pentingnya modernisasi pesantren dan madrasah merupakan upaya untuk mengintagrasikan pendidikan Islam kedalam Mainstream sistem pendidikan Nasional.
Bagi Azra gagasan modernisasi pendidikan Islam tidak hanya menjadi wacana, melainkan juga harus menjadi kenyataan dan dipraktekan. Bagi Azra ide dan kenyataan harus dibangun bersama-sama, karena dengan cara inilah sebuah ide dapat dirasakan manfaatnya.[19]
Itulah sebabnya, ketika beliau menjabat yang dilakukan adalah memperlebar makna kampusnya, dari IAIN menjadi Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta sejak Mei 2002 lalu. Perubahan ini disebutkannya sebagai kelanjutan ide Rektor terdahulu Prof. Dr. Harun Nasution, yang menginginkan lulusan IAIN haruslah orang yang berpikiran rasional, modern, demokratis dan toleran. Lulusan yang tidak memisahkan ilmu agama dengan ilmu umum, tidak memahami agama secara literer, menjadi Islam yang rasional bukan Islam yang madzhabi atau terikat pada satu mazhab tertentu saja.Untuk mencapai ide tersebut institusinya harus di benahi agar ilmu umum dan agama bisa saling berinteraksi. Dan satu-satunya cara adalah mengembangkan IAIN menjadi Universitas sehingga muncullah Fakultas Sains, Ekonomi, Teknologi, MIPA, Komunikasi, Matematika, dan lain-lain.
Disisi lain ketika  Azyumardi menggagas pengembangan kampusnya, disampaikan bahwa “agar supaya wawasan keIslaman akademik yang dikembangkannya harus mempunyai wawasan keIndonesiaan sebab hidup kampusnya di Indonesia. “Jadi, keIslaman yang akan kita kembangkan itu adalah keIslaman yang kontekstual dengan Indonesia karena tantangan umat muslim di sini adalah tantangan Indonesia”. Pendekatannya terhadap agama adalah pendekatan yang tidak berdasarkan fanatisme dalam bermazhab dan memahami agama.
Namun demikian dengan segala upaya dan perubahan yang telah dilakukan, masih banyak kritikan yang mengatakan bahwa hingga saat ini IAIN/UIN belum mampu mengubah sikap dasar kebanyakan mahasiswanya. Realitanya lingkungan kampus dan pengajarannya belum memiliki kaitan yang erat dengan masyarakatnya. Hal ini dapat dilihat dari masih rendahnya angka partisipasi dari mahasiswa dan lulusan IAIN/UIN dalam membuka kesempatan kerja dan kemandirian sosialnya. Padahal, tatkala pendidikan memiliki kaitan yang erat dengan hubungan sosial, maka situasi ini menjelaskan pendidikan dapat memberikan pengaruh yang signifikan bagi perubahan sosial yang ada.[20]
Selain hal tersebut,  pembahasan Azra dalam sub bab tentang problematika IAIN, kami melihat ada kesamaan dalam pembahasan yang ditulis oleh Amrullah Achmad dalam buku Pendidikan Islam di Indonesia antara Cita dan Fakta[21] 

V.               Penutup
Dari seluruh uraian diatas, terlepas dari sedikit kekurangan dari kesempurnaan buku yang ditulis Prof. Dr.Azyumardi Azra, M.A,  namun kami secara pribadi memberikan penghargaan kepada karya ini. Perbaikan dunia pendidikan kita  diperlukan sumbangan pemikiran dari berbagai pihak. Sebuah karya dalam bentuk tulisan akan jauh lebih berharga dibanding hanya sebuah hasil diskusi yang berlalu begitu saja. Kiranya patutlah buku ini kita jadikan sebagai salah satu referensi yang akan memperkaya wawasan kita seputar dunia pendidikan Islam.
Dan akhirnya saya ingin menutup tulisan ini dari kalimat beliau bahwa, missi sentral Nabi Muhammad Saw adalah peningkatan kualitas SDM yang benar-benar utuh, tidak hanya secara jasmaniah tetapi juga batiniah. Dalam kerangka perwujudan fungsi idealnya untuk peningkatan kualitas SDM tersebut, sistem  pendidikan Islam haruslah senantiasa mengorientasikan diri kepada menjawab kebutuhan dan tantangan yang muncul dalam masyarakat kita sebagai konsuekwensi logis dari perubahan. Tetapi diakui bahwa sebagian besar sistem pendidikan Islam  belum dikelola secara profesional. Dan pada akhirnya di simpulkan bahwa pembaharuan harus segera dilakukan dalam sistem pendidikan Islam.






DAFTAR PUSTAKA

Arifin. Kapita Selekta Pendidikan (Islam dan Umum). Jakarta: Bumi Aksara, 1991.
Azra, Azyumardi. Pendidikan Islam Tradisi Dan Modernisasi Menuju Milenium Baru. cet.III. Jakarta: Kalimah, 2001.

E. Mulyasa.  Manajemen Berbasis Sekolah. Bandung : PT. Remaja Rosdakarya, 2002.

Maarif, A Syafii dkk, ed. Muslih Musa.  Pendidikan Islam di Indonesia antara Cita dan Fakta. Yogayakarta : Tiara Wacana, 1991.

Majid, Abdul dan Andayani, Dian. Pendidikan Agama Islam Berbasis  Kompetensi. Bandung : PT. Remaja Rosdakarya : 2006.

Naim, Ngainum Dan Ahmad Sauqi. Pendidikan Multikultural; Konsep Dan Aplikasi. Yogyakarta : Ar-ruzz, 2008.

Qomar, Mujamil. Manajemen Pendidikan Islam. Jakarta : Erlangga, 2008.

Rosyada,Dede.  Paradigma Pendidikan Demokratis. Jakarta : Prenada Media, 2004.

Yamin, Moh. Menggugat Pendidikan Indonesia. Jogjakarta : Ar-Ruzz Media, 2009.


Ariefuzzaman, Siti Napsiyah. “Prof. Dr.Azyumardi Azra, M.A: Paradigma Baru Pendidikan Islam di Indonesia dalam Pemikir Pendidikan Islam, ed. Chirul Fuad Yusuf et.al,. Jakarta: Pena Citasatria, 2007.


[1] Ngainum Naim Dan Ahmad Sauqi, Pendidikan Multikultural; Konsep Dan Aplikasi,
 ( Yogyakarta : Ar-ruzz, 2008), 13.
[2] . E. Mulyasa, Manajemen Berbasis Sekolah, (Bandung : PT. Remaja Rosdakarya, 2002), 4.
[3] Dede Rosyada, Paradigma Pendidikan Demokratis,  (Jakarta : Prenada Media, 2004), 1.
[5]  Azra, Pendidikan Islam Tradisi …, 8.
[6] Ibid, 10.
[7] Ibid, 16-19.
[8] Ibid, 107.
[9] Ibid, 149.
[10] Ibid, 154.
[11] Ibid, 163.
[12] Organisasi ekstra intituter yang ada di IAIN, antara lain : PMII, HMI, KAMMI.
[13] Siti Napsiyah Ariefuzzaman, “Prof. Dr.Azyumardi Azra, M.A: Paradigma Baru Pendidikan Islam di Indonesia dalam Pemikir Pendidikan Islam, ed. Chirul Fuad Yusuf et.al, (Jakarta: Pena Citasatria, 2007), 46.
[14] Lihat pembahasan tentang Keberadaan Surau: Gambaran Awal hal, 117-122 terulang pembahasannya pada sub Surau Ditengah Krisis…,130-133 bab,  juga dalam sub bab, Mengembangkan Studi Islam  Sebagai Disiplin Ilmu….hal.21-27, dibahas kembali pada sub bab, Sosialisasi Politik Dan Pendidikan Islam, hal 61-68.
[15] Amrullah Ahmad, “Kerangka Dasar Masalah Paradigma Pendidikan Islam”, dalam Pendidikan Islam di Indonesia, (Yogayakarta : Tiara Wacana, 1991), 55.
[16] M. Arifin,, Kapita Selekta Pendidikan (Islam dan Umum), Jakarta : Bumi Aksara, 1991, 28.
[17] Abdul Majid, Dian Andayani, Pendidikan Agama Islam Berbasis  Kompetensi, (Bandung, PT. Remaja Rosdakarya : 2006), 78-80.
[18] Mujamil Qomar, Manajemen Pendidikan Islam, (Jakarta : Erlangga, 2008),17.
[19] Siti Napsiyah Ariefuzzaman, “Prof. Dr.Azyumardi Azra, M.A: Paradigma Baru Pendidikan Islam di Indonesia dalam Pemikir Pendidikan Islam,… 69.
[20] Moh . Yamin , Menggugat Pendidikan Indonesia, (Jogjakarta : Ar-Ruzz Media, 2009), 140.
[21] A. Sjafii Maarif  dkk, ed. Muslih Musa, Pendidikan Islam…., 109.

Comments (0)