A.     PENDAHULUAN


            Pendidikan adalah sesuatu yang sangat urgen bagi kehidupan manusia karena terkait langsung dengan segala potensi yang mereka miliki dan perlu dikembangkan. Adanya paradigma semacam itu menyebabkan para pemikir dalam dunia pendidikan seolah terdorong untuk membangun sebuah konsep yang menyeluruh serta mampu mengakomodir seluruh potensi yang dimiliki manusia untuk kemaslahatan manusia baik sekarang maupun yang akan datang.
Membangun sebuah konsep pendidikan yang baik merupakan upaya untuk membangun peradaban yang baik. Pendidikan sebagai salah satu sistem perubahan yang ada di masyarakat dapat mendorong munculnya unsur-unsur modern yang menyebabkan terjadinya perkembangan dimana masyarakat turut berperan didalamnya. Adanya hubungan yang erat antara kerja pendidikan dan masyarakat menurut Hasan Langgulung bahwa: “…… kerja pendidikan lebih bersifat sosial daripada yang lain, dan bahwa merubah serta memajukan masyarakat merupakan tujuan yang paling wajar” [1].
            Pendapat ini memberikan gambaran kepada kita bahwa pendidikan pada dasarnya bukan hanya bertujuan untuk mentransformasikan ilmu ataupun nilai dari satu generasi ke generasi berikutnya, melainkan pendidikan juga mempunyai fungsi sosial. Oleh karena itu pendidikan dalam hal ini dapat ditinjau dari dua sudut pandang yakni pendidikan dari sudut pandang individu dan pendidikan dari sudut pandang masyarakat.
             Dari sudut pandang individu, pendidikan merupakan suatu proses perkembangan yakni perkembangna potensi yang dimiliki secara maksimal dan diwujudkan dalam bentuk konkret, dalam artian individu tersebut berkemampuan menciptakan sesuatu yang berguna bagi masa depan manusia. Sedangkan dari sudut pandang masyarakat, pendidikan adalah suatu proses sosialisasi, yakni memasyarakatkan nilai-nilai,ilmu pengetahuan dan keterampilan dalam kehidupan, dalam hal ini pendidikan harus bersifat futuristik[2].
            Selain hal-hal tersebut diatas, pendidikan merupakan suatu proses budaya yang bertujuan untuk meningkatkan harkat dan martabat manusia sesuai dengan proporsinya yakni sebagai makhluk yang telah Allah ciptakan dengan sebaik-baik bentuk serta telah dibekali dengan berbagai kelebihan sehingga ia berbeda dengan ciptaan Allah yang lain. Karunia terbesar Allah kepada manusia adalah akal. Jadi dalam hal ini tujuan dari pendidikan adalah menberdayakan potensi dasar yang telah Allah karuniakan kepada manusia serta mengembangkannya dengan berorientasi pada kepentingan kehidupan dimasa yang akan datang.
            Gambaran konsep pendidikan yang telah penulis paparkan diatas pada masa klasik dan pertengahan telah banyak disampaikan oleh pemikir-pemikir pendidikan Islam baik secara tersurat maupun secara tersirat. Pada masa tersebut muncul tokoh-tokoh yang sangat mempengaruhi pola pikir tokoh pendidikan Islam masa kini.
           

B.     RUMUSAN MASALAH

Pada tulisan berikut akan penulis paparkan tentang Permasalahan pemikir Islam yang memiliki kontribusi yang cukup besar pada dunia pendidikan Islam yakni Al Ghazali adapun rumusan Masalahnya yang akan kami paparkan sebagai berikut:
  1. Bagaimana Biografi Al-Ghazali
  2. Bagaimana Konsep Pendidikan dalam Perspektif al-Ghazali










B. KAJIAN TEORI
B. 1. Latar Belakang Keluarga dan Sosial Budaya
          “Al-Ghazali (450 – 505H/!058 – 19 Desember 1111 M) Nama lengkapnya ialah Abu Hamid Bin Muhammad At-Tusi Al Ghazali, seorang pemikir Islam sepanjang sejarah Islam, teolog, filosof dan sufi termasyhur, Ia lahir di kota Gazalah sebuah kota kecil dekat Tus di Khurasan, yang ketika itu merupakan salah satu pusat ilmu pengetahuan di dunia Islam… Ia lahir dari keluarga yang taat beragama dan hidup sederhana”[3]
Ayahnya, Muhammad, adalah seorang penenun yang memiliki toko tenun di kampungnya. Namun demikian, lantaran kemiskinannya penghasilan tidak bisa mencukupi hidup keluarga.
Al-Ghazali adalah anak tertua dari dua bersaudara, nama kecilnya adalah Muhammad bin Muhammad bin Muhammad bin Ahmad, jadi tiga nama Muhammad berturut. Disebut Abu Hamid Al-Ghazali, karena putra yang pertama bernama Hamid tetapi sayang, Hamid terburu dipanggil Tuhan ketika masih kecil.
Adik Al-Ghazali bernama Ahmad, kemudian diberi gelar Abu Fatuh. Dia juga seorang juru dakwah yang tersohor, yang diberi julukan ‘Mujiduddin’.
Ketika kedua saudara itu masih kecil, ayahnya juga meninggal dunia. Dengan peninggalan harta yang sangat minim, kedua anak itu dititipkan kepada sahabatnya seorang ahli tasawwuf, guna mendidik dan mengarahkannya. Kasih sayang ibunya selalu mendorong mereka berdua untuk selalu belajar terus. Pada waktu sahabat ayahnya (ahli sufi) sudah kehabisan tenaga untuk memberi pelajaran kedua anak itu, ia berkata kepada anak yatim itu :
 “Segala harta warisan ayahmu sudah habis untuk belanja kamu belajar, sedangkan saya sendiri hidup miskin melarat, tidak mampu membantu, memperbaiki keadaanmu. Maka tidak ada jalan lain bagimu kecuali masuk panti asuhan, sehingga kamu dapat melanjutkan ilmu fiqh…di sini ia belajar sampai usia 18 tahun. Ia mendalami ilmu fiqih dari Razaqani Ahmad bin Muhammad kemudian ilmu tasawwuf diperoleh dari Yusuf An-Nassaj seoang sufi terkenal”[4]
                

          Menurut Hussein Bahreisj dalam bukunya Ajaran-ajaran akhlaq Imam Al-Ghazali, Al-Ghazali lahir dari keluarga Persia (Iran). “Adapun ayahnya tekenal sebagai seorang miskin yang saleh, dan tidak mau makan-makanan kecuali dari usahanya yang halal, dengan pekerjaannya sebagai pemintal benang dari bulu (wool/shuf)…ia pada suatu waktu pernah menangis sehabis mendengarkan pengajian keIslaman dan sesudah itu ia memohon kepada Allah agar anaknya nanti kiranya menjadi ahli fiqih”.
          Dari uraian singkat diatas dapat diketahui adanya kesan kuat bahwa dari segi kondisi keluarga, Al-Ghazali termasuk kurang beruntung, karena secara lahiriah kurang kondusif bagi perkembangan sosok pribadi Al-Ghazali secara optimal. Ketidak beruntungan Al-Ghazali selanjutnya adalah adanya perkembangan sosio-kultural umat masa hidupnya yang mengalami kemunduran. Keadaan secara factual melingkari pertumbuhan ataupun mobilitas pemikiannya. Hal ini penting untuk diketahui, justru demi keutuhan pemahaman kita tentang sosok tokoh Al-Ghazali.
          Sebab, bagaimanapun seorang tokoh, siapapun dia pada dasarnya produk sejarah masanya, sebagai anak jaman.
          “Apabila diruntut dari rentang perjalanan sejarah Islam, maka kendatipun masa hidup Al-Ghazali masih berada dalam periode klasik (650-1250), namun sudah masuk dalam masa kemunduran, jelasnya masa disintegerasi (1000-1250). Secara politik kekuatan pemerintah Islam yang ketika itu dibawah dinasti Abbasyiah sudah sangat lemah dan mundur karena tejadinya konflik-konflik internal yang berkepanjangan dan ak kunjung teseleseikan”. [5]

          “Maka munculah mobilisasi orang-orang Eropa buat membela orang Kristen di Timur dan mengeluarkan kaum muslimin dari Baitul Maqdis. Ahirnya Baitul Maqdis dikuasai mereka, sedangkan jumlah kaum muslimin yang terbunuh sekitar 70.000 orang …(H. Bahreisy, 1981:18). Mengenai hal ini liteatu lain menyatakan bahwa : “Paus Urbanus II telah mengerahkan angkatan bersenjata dari seluruh Eropa Barat pada 15 Agustus 1096 (489 H) dan pada tahun 1097 (490 H) kaum aggressor itu merebut Palestina, suatu pebunuhan besar-besaran mereka lakukan di kota yang dipandang suci oleh ketiga agama besar (Yahudi, Kristen dan Islam), yaitu menyembelih 40.000 orang penduduk yang tidak berdosa”.[6]
                “pada waktu itu tentara-tentara Salib banyak membunuh para ulama’ Islam”.[7]
          Dalam sejarah, penyerbuan bangsa Eropa yang Kristen tehadap bangsa Arab yang Islam dengan dalih membela orang Kristen di Timur, hingga sekarang masih menyisakan kisah sedih dan menyimpan dendam sejarah, yang memunculkan sikap anti Barat Kristen, baik dilakukan secara perorangan maupun kelompok secara terang-terangan atau sembunyi.
          “Pada saat tragis itulah Imam Ghazali sedang berada di Palestina, dia terpaksa meninggakan kota suci itu untuk menyelamatkan diri ke padang sahara dan ahirnya menuju Mesir”.[8]
          “Dibidang kebudayaan dan peradaban, meski pernah mengalami zaman keemasan pada masa sebelumnya, kini mengalami kemunduran, bahkan nyaris kehilangan kepribadiannya.Demikian pula dalam bidang ilmu-ilmu agama Islam dirasakan Al-Ghazali telah mati dalam jiwa umat Islam sehingga perlu dihidupkan kembali sebagaimana tercermin dalam salah satu karyanya, Ihya Ulum al Din. Di bidang-bidang lain seperti bidang intelektual, moral dan agama secara umum juga mengalami kemerosotan dan kemunduran”. [9]
          “Sehingga tepat sekali jika Ghazali pada waktu itu menggambarkan kedudukan  masyarakatnya sebagai orang-orang taqwa yang palsu, bahkan juga sebagai orang-orang sufi yang palsu yang menipu manusia dengan taqwanya”.
          “Lewat analisis terhadap masanya, Al-Ghazali sampai pada kesimpulan bahwa masa dimana ia hidup, adalah masa yang secara umum sedang mengalami kemunduran, terutama aspek intelektual dan moral yang sangat parah”.
          “Itulah sebabnya dalam Ihya’ulum al-Din begitu sarat dengan pengajaran moral dan spiritual sebagai usaha mempertahankan kesatuan kebenaran pandangan yang realitas melalui seruan untuk kembali kepada Allah sekaligus membawa pinggiran kebudayaan dan peradaban manusia kepada inti yang diwahyukan[10]


B.2. Riwayat Hidup Al-Ghazali
          Ketika Al-Ghazali dan saudaranya masuk “asrama” atau panti asuhan untuk mendapatkan bantuan beasiswa sejak saat itulah sesungguhnya mulai mengembara dalam menimba ilmu pengetahuan. Saat itu usianya baru mencapai kurang lebih dua puluh tahun.
          “Pada tahun 469 data lain menyebut 470 H. Al-Ghazali melanjutkan perjalanan ke Jurjan. Gurunya yang terkenal ialah Nasher al Isma’ili, untuk (mendalami pelajaran bahasa Arab dan Persi’) (Amin Syukur, 2002:128). Lantara tidak puas di sini, ia pulang ke Thus selama 3 tahun. Timbullah pikirannya untuk mencari sekolah yang lebih tinggi. Kesadaran ‘mencari kebenaran’ mulai timbul, yang menurut istilah W. Montgomery Watt ‘looking for necessary”.[11]

          “Pada tahun 471 H.. Al-Ghazali berangkat menuju ke Naisabur karena tertarik dengan perguruan tinggi Nizamiyah, disini dia bertemu dan belajar dengan seorang ulama’ besar Abu Al-Ma’Ali Dhiya’u al-Din al-Juwaini yang lebih dikenal dengan Imam al-Haramaini, sebagai pimpinan perguruan tinggi tesebut. Kepada ulama besar ini Al-Ghazali belajar langsung sebagai mahasiswa dalam berbagai ilmu pengetahuan seperti ilmu kalam, ilmu fiqh, ushul fiqh, retorika, mantiq serta mendalami filsafat”. (Amin S.,2002:128-129). “Bahkan dia juga mulai mengarang buku-buku dalam berbagai cabang ilmu pengetahuan”. [12]

          “Pada tahun 475 H, ketika Al-Ghazali memasuki 25 tahun, ia mulai meniti karier sebagai dosen pada Univesitas Nazamiyah Naisabur, dibawah bimbingan guru besarnya, Imam al-Haramain”. (Amin S.,2002:129). Akan tetapi sayang gurunya yang amat dicintainya itu keburu dipanggil Tuhan (479 H.=1085). Nizamul Mulk menunjuk Al-Ghazali sebagi gantinya. Dengan kedudukan sebagai rektor, maka merupakan kejutan akan prestasi Al-Ghazali dalam dunia ilmu pengetahuan”. [13]

          “Setelah al-Juwaini wafat (1085) Al-Ghazali meninggalkan Naisabur menuju Muaskar untuk memenuhi undangan Perdana Menteri Nizam al-Mulk, pendiri madrasah Nizamiyah. Muaskar pada waktu itu adalah tempat permukiman Perdana Mentri, pembesar-pembesar kerajaan dan para ulama’ atau inteektual terkemuka. Disini ia menghadiri pertemuan-pertemun ilmiah yang rutin diadakan di Istana Nizam al-Mulk. Melalui forum inilah kemasyhurannya semakin meluas. Kepandaian Al-Ghazali menyebabkan Perdana Menteri Nizam al-Mulk mengangkatnya menjadi guru besar pada Madrasah Nizamiyah di Baghdad tahun 1090 M. Ini merupakan kedudukan sangat terhormat dan merupakan prestasi puncak dan inilah yang menjadikannya semakin popular. Akan tetapi, setelah lima tahun (1090-1095) memangku jabatan itu, ia mengundukan diri”. [14]

          “Pada tahun 488 H. = 1095 M. Al-Ghazali berekad bulat meninggalkan ibukota Baghdad minta berhenti dari seluruh jabatannya, karena kegoncangan bathin yang sangat hebat menghadapi peristiwa beruntun, dimana sarjana-sarjana barat menyebut dengan zaman ‘skepticisme (keraguan-raguan), sehingga jatuh sakit selama enam bulan”.[15]

          “Ketika itu, kehidupannya goncang karena keraguan yang meliputi dirinya, “apakah jalan yang ditempuhnya sudah benar atau tidak?”. Perasaan syak ini setelah mempelajari ilmu kalam (teologi) yang diperolehnya dari Juwaini”. [16]
          “Dalam puncak keraguannya sewaktu berada di Baghdad, pertanyaan yang selalu membentur hatinya adalah : apakah pengetahuan hakiki itu, apakah pengetahuan yang diperoleh lewat indra atau lewat akal ataukah lewat jalan yang lain”. [17]
          “Jeritan jiwanya bahwa segala usahanya hampa belaka, menyebabkan ia memilih jalan mengasingkan diri, memadukan jiwanya kepada Tuhan Yang Maha Esa”.
          “Setelah sembuh dari penyakit keragu-raguan, mulailah babak baru dari perjalanan hidup Al-Ghazali dalam mencari kebenaran, kesempurnaan dan kebahagiaan hakiki melalui jalan tasawwuf”. [18]
          “Tasawuflah yang kemudian menghilangkan rasa syak dalam dirinya. Pengetahuan tasawuf yang diperolehnya melalui kalbu membuat Al-Ghazali marasa yakin mendapatkan pengetahuan yang benar”. [19]
          “Setelah mendapat ilham yang benar dibawah lindungan Ka’bah, maka terbukalah pikirannya untuk berkumpul kembali dengan keluarga. Sebab tampaknya pengembaraan selama sepuluh tahun membosankan dan muncullah pikirannya yang normal untuk kembali hidup di tengah masyarakat. Bersamaan dengan munculnya dorongan untuk kembali, datanglah panggilan tugas dari Perdana Mentri Fakhr al-Mulk putra Nizam al-Mulk almarhum yang memintanya agar segera pulang ke Nisabur untuk memimpin Univesitas Nazamiyah Nisabur yang ditinggalkannya”. [20]

          “Atas panggilan dari  Perdana Mentri Fakhr al- Mulk, maka pada tahun 499 H. =1105 M.Al-Ghazali pulang kembali ke Naisabur dengan hati yang penuh bangga laksana seorang pahlawan yang gagah pulang dengan membawa kemenangan dari suatu pertempuran”. [21]
          “Akan tetapi, tugas mengajar ini tidak lama dijalankannya. Ia kembali ke Tus, kota kelahirannya –‘setelah Faktr al Mulk dibunuh oleh kaki tangan Hasan Sabah – seorang ekstrimes Syi’ah yang mempunyai hubungan dengan Dinasti Fatimiyah di Mesir’. [22]
          “Jenazahnya, dimakamkan disebelah timur benteng, di pekuburan Thaberran, berdampingan dengan makam penyair besar, Firdausi.
          Dia wafat meninggalkan tiga orang anak perempuan, sedang anak laki-laki yang bernama ‘Hamid’ sudah meninggal sebelum wafatnya”. [23]

B. 2.1.  Pemikiran Al Gazali tentang Pendidikan
Sebagai seorang filosof tentunya cara berpikir yang digunakan oleh Al Ghazali adalah rasional, logis dan sistematis serta dalam membuat sebuah konsep maka beliau memikirkan segala sesuatu dengan sangat mendalam bukan secara ekstemporan (tanpa persiapan). Dari pemikiran yang mendalam dan komprehensif inilah maka Al Ghazali merumuskan Pendidikan sebagai Proses memanusiakan manusia sejak masa kejadiannya sampai akhir hayatnya melalui berbagai ilmu pengetahuan yang disampaikan dalam bentuk pengajaran secara bertahap, dimana proses pengajaran itu menjadi tanggung jawab orang tua dan masyarakat menuju pendekatan diri kepada Allah sehingga menjadi manusia sempurna[24]
Dari pengertian diatas dapat kita ketahui bahwa pendidikan adalah sebuah proses Memanusiakan manusia artinya pendidikan dilakukan bukan hanya berlandaskan pada keinginan seorang pendidik atau pengajar saja akan tetapi juga harus mempertimbangkan potensi atau fitrah yang telah dimiliki oleh peserta didik. Dalam hal ini bisa dikatakan bahwa Al Ghazali dalam dunia pendidikan cenderung menganut Aliran Emprisme[25]. Setiap anak didik dilahirkan dibekali Allah dengan fitrah, misalnya fitrah agama, fitrah intelek, fitrah sosial, fitrah susila, fitrah seni, dll [26]. Akan tetapi disisi lain Al Ghazali juga mengkritik para tokoh yang berpendapat bahwa tabiat manusia tidak dapat dirubah dengan mengatakan  “… Sekiranya akhlaq tidak dapat menerima perubahan, niscaya fatwa, nasehat dan pendidikan itu adalah hampa…..”[27]. Dalam hal ini dapat diperoleh kesimpulan bahwa Al Ghazali lebih condong kearah konvergensi, dalam artian antara fitrah dan lingkungan saling pengaruh-mempengaruhi.

B. 2. 2 Komponen- komponen Pendidikan menurut Al Ghazali:
a. Tujuan Pendidikan
Tujuan merupakan pijakan awal dari segala perilaku yang dilakukan oleh manusia termasuk didalamnya Pendidikan. Tujuan Pendidikan menurut Al Ghazali adalah :
1.      Insan purna yang bertujuan mendekatkan diri kepada Allah SWT.
2.      Insan Purna yang bertujuan mendapatkan kebahagiaan hidup didunia dan akhirat. [28]
Dari tujuan diatas dapat diketahui bahwa dalam konsep pendidikan Islam Al Ghazali  ingin memadukan antara kebahagiaan dunia dan akhirat, meski dalam porsi yang berbeda, yakni mendekatkan diri kepada Allah sebagai tujuan utama serta ciri moral relegiusnya  akan tetapi tanpa meninggalkan masalah dunia karena menurut beliau dunia ini hanyalah persinggahan sementara akhirat adalah tujuan akhir dari manusia[29]. Pendapat Al Ghazali semacam ini tidak terlepas dari latar belakang beliau yang seorang ahli tasawuf.
b. Subyek Pendidikan yakni guru atau pendidik dan murid
b.1 Pendidik atau guru
Dalam Pendidikan Peranan seorang pendidik sangatlah besar karena merekalah yang akan mengantarkan anak didik pada pemahaman yang benar tentang segala yang ingin mereka ketahui. Menurut konsep Al Ghazali pendidik bukanlah yang menentukan segalanya mengenai anak didik akan tetapi pendidik hanya sebagai pengantar. Sebagaiamana Pendapat beliau: “…apabila nasihat Rasululloh SAW telah sampai kepadamu, apa kau masih membutuhkan nasihatku? Tetapi, apabila nasihat-nasihat beliau belum sampai kepadamu sebaiknya engkau jelaskan kepadaku apa yang kau peroleh selama bertahun-tahun belajar kepadaku?”[30].
Dari pernyataan beliau tersirat bahwa jika anak didik telah memperoleh apa yang ia inginkan, sesuai dengan kebutuhannya maka selesailah tugas seorang guru, akan tetapi konsep diatas hendaknya diterapkan sesuai dengan kondisi anak didik serta bertahap. Misalnya ketika murid masih usia anak-anak maka guru harus memahami kondisi psikologis mereka karena mereka membutuhkan perhatian lebih. Berkaitan dengan tugas dan tanggungjawab guru professional, Al Ghazali menyebutkan beberapa hal sebagai berikut:
a.       Guru ialah orang tua kedua didepan murid
b.      Guru sebagai pewaris ilmu nabi
c.       Guru sebagai penunjuk jalan dan pembimbing keagamaan murid
d.      Guru sebagai sentral figur bagi murid
e.       Guru sebagai motivator bagi murid
f.        Guru sebagai seorang yang memahami tingkat perkembangan intelektual murid
g.       Guru sebagai teladan bagi murid[31].
b.2 Murid
         Murid atau perserta didik bukanlah miniatur orang dewasa, mereka mempunyai dunia sendiri, sehingga metode belajar mengajar tidak boleh disamakan dengan orang dewasa, mereka juga memiliki periode perkembangan serta pola perkembang tertentu[32]. Mengenai anak didik sebagaimana pendidik Al Ghazali memiliki beberapa hal yang harus diperhatikan baik oleh pendidik maupun oleh murid itu sendiri, diantaranya:
a.       Belajar merupakan proses jiwa. Karena merupakan sebuah proses jiwa maka murid harus serta guru harus mampu melaksanakan tugasnya sesuai dengan proporsi masing-masing misalnya guru harus memperhatikan kondisi fisik dan psikis anak didiknya sebaliknya murid juga harus memahami bahwa belajar bukan hanya proses fikis tetapi juga proses jiwa sehingga Al Ghazali menyarankan agar murid terlebih dulu mensucikan jiwa mereka yakni dengan meninggalkan sifat-sifat tercela, misalnya Riya’, Ujub, takabur, dll.
b.      Belajar menuntut konsentrasi
c.       Belajar harus didasari sikap tawadlu’
d.      Belajar bertukar pendapat hendaklah telah mantap pengetahuan dasarnya
e.       Belajar harus mengetahui nilai dan tujuan ilmu pengetahuan yang dipelajari.
f.        Belajar secara bertahap
g.       Tujuan belajar untuk berakhlaqul karimah[33]

c. Kurikulum atau ilmu pengetahuan sebagai Obyek Pendidikan
Konsep kurikulum Al Ghazali terkait erat dengan konsepnya mengenai ilmu pengetahuan. Dalam pandangan Al Ghazali ilmu pengetahuan dibagi kedalam 3 kelompok[34] yakni:
1.      Kelompok menurut kuantitas yang dipelajari, yang terdiri dari:
Ø      Ilmu fardlu ‘Ain, yaitu ilmu yang harus diketahui oleh setiap muslim yang bersumber dari kitabullah
Ø      Ilmu Fardlu Kifayah, ilmu yang cukup dipelajari oleh sebagian orang muslim saja, misalnya ilmu matematika, kodokteran, dll.
2.      Kelompok menurut fungsinya, Yang terdiri dari:
Ø      Ilmu yang tercela. Yang termasuk kedalam kelompok ini adalah ilmu sihir, ilmu nujum dan ilmu ramalan. Akan tetapi ilmu nujum ada juga yang baik misalnya ilmu nujum yang berdasarkan pada hisab.
Ø      Ilmu yang terpuji. Ilmu-ilmu yang dapat mendekatkan diri kepada Allah
Ø      Ilmu terpuji dalam batas – batas tertentu, dan tidak boleh dipelajari secara mendalam karena akn mendatangkan mudharat misalnya ilmu filsafat.
3.      Kelompok ilmu menuut sumbernya, yang terdiri dari:
Ø      Ilmu syari’ah, yaitu ilmu yang bersumber dari wahyu ilahi dan sabda Nabi
Ø      Ilmu aqliyah, yaitu ilmu yang berasal dari akal pikiran manusia setelah ia melakukan eksperimen
         Sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai oleh Al Ghazali, maka ia membagi isi kurikulum pendidikan Islam pendidikan Islam kedalam empat kelompok dengan mempertimbangkan jenis, dan kebutuhan ilmu itu sendiri yakni:
1.      Tingkat pertama, Al Qur’an dan ilmu-ilmu pengetahuan agama misalnya fiqh, As Sunnah dan tafsir
2.      Tingkat kedua yakni Ilmu bahasa Arab dan ilmu nahwu ( tata bahasa) serta ilmu Makhorij al Huruf wal Al Fazh (Linguistik) sebagai alat untuk mempelajari ilmu-ilmu agama.
3.      Tingkat Ketiga yakni ilmu-ilmu yang hokum mempelajarinya fardlu Kifayah misalnya; ilmu kedokteran, matematika, teknologi, dll
4.      Tingkat keempat yakni ilmu Kebudayaan seperti sastra, filsafat, dll[35]
Dari rangkaian isi kurikulum yang ditawarkan oleh al Ghazali maka diperoleh kesimpulan bahwa al Ghazali ingin memberikan porsi yang berimbang antara Ilmu dunia dan ilmu akhirat meskipun tetap dengan menempatkan ilmu agama dalam porsi yang lebih besar.

d. Metode pengajaran.
Sebagaimana telah disampaikan diatas bahwa pendidikan menurut Al Ghazali pendidikan adalah sebuah proses memanusiakan manusia dalam artian tiap individu berbeda satu dengan yang lain serta melalui proses yang bertahap maka metode yang ditawarkan beliau bedakan yakni pertama metode pendidikan agama yang dimulai dengan metode menghafal tentang kaidah-kaidah agama, kemudian dilanjutkan dengan guru memberikan penjelasan kepada murid tentang arti disertai dengan dalil dan bukti dengan maksud agar murid memahami, meyakini serta membenarkannya. Proses ini berlangsung secara bertahap disesuaikan dengan kondisi murid. Kedua Metode Pendidikan Akhlaq atau Etika dilakukan dengan pembiasaan[36].

e. Evaluasi
Dasar yang digunakan Al Ghazali dalam meng-evaluasi pendidikan adalah QS. Al Hasyr: 18
“ Hai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat)…”
Proses evaluasi dilakukan dilakukan secara periodik dengan tujuan untuk mengetahui hasil dari proses pembelajaran yang dilakukan pada masing-masing subyek pendidikan diantaranya Pemimpin lembaga pendidikan, murid, guru, orang tua/wali murid dan tenaga administratif serta jika terdapat hambatan atau  kendala dalam proses pendidikan untuk dicarikan solusinya [37].

C. KONSEPTUALISASI
            Dari uraian diatas sangat jelas bahwa apa yang menjadi tujuan pendidikan menurut Al Ghazali adalah Mendekatkan diri kepada Allah SWT..
Pada bidang kurikulum, Al Ghazali mendasarkan pemikirannya pada pemilahan ilmu kedalam 3 kelompok, hal ini jika ditelaah lebih lanjut ada 2 kecenderungan yang mempengaruhinya yakni:
1.      Kecenderungan Agama dan Tasawuf. Hal ini karena Al Ghazali memiliki latar belakang seorang sufi dan sekaligus seorang filosof sehingga ia menempatkan posisi ilmu-ilmu agama diatas segala-galannya.
2.      Kecenderungan pragmatis, hal ini karena ilmu pengetahuan menurut Al Ghazali bukan hanya bermanfaat ketika manusia itu hidup didunia melainkan juga disaat ia hidup diakhirat kelak.
Dalam konsep ilmu Al Ghazali filsafat dianggap sebagai suatu ilmu yang dapat membahayakan iman seseorang menurut penulis memiliki sisi positif akan tetapi juga memiliki sisi negarif. Sisi positifnya ialah tidak semua orang yang belum memiliki kemampuan keagaan yang kuat memang akan tergelincir dalam kesesatan jika ia mempelajari filsafat. Sedangkan sisi negatifnya adalah anak akan kurang memiliki kemampuan dalam bidang penalaran karena dalam filsafat seseorang diperbolehkan untuk mencari akar dari segala hal yang ingin ia ketahui atau pelajari sehingga jika hal ini kurang diperhatikan maka mereka akan cenderung lebih memilih sikap taqlid pada hasil pemikiran para cendekiawan sebelumnya tanpa berani mempertanyakan apalagi menyanggah keabsahannya.
Dalam konsep pendidikannya Al Ghazali sangat mengutamakan etika baik pada guru maupun pada murid. Jika hal ini diterapkan pada kondisi saat ini memang terkesan sangat tidak relevan, akan  tetapi jika kita lebih jeli dalam menelaahnya maka akan diperoleh  bahwa jika seorang murid tidak memiliki rasa Tawadlu’ pada guru artinya ia sombong maka tentu ia tidak akan dapat menerima ilmu dari gurunya karena ia merasa bahwa ia lebih tinggi dan lebih baik dari guru tersebut. Logikanya ia tidak akan mau menerima informasi atau pengetahuan dari orang lain yang ia anggap lebih rendah.
Begitu juga guru ia hendaknya memiliki etika dalam artian ia tidak boleh merasa dirinya paling hebat, sehingga ia menguasai anak didiknya secar berlebihan dan mengatur segala yang berkaitan dengan murid serta tidak memebri kesempatan kepada muridnya untuik mengekspresikan pengetahuannya. Dengan etika guru akan memiliki pemahamna bahwa murid juga manusia yang memiliki kehendak, perasaan, pengetahuan dan kemampuan.
Sedangkan tentang konsep murid menurut Al Ghazali, bahwa  seorang murid hendaknya mampu mensucikan diri dari sifat-sifat tercela atau akhlaq Madzmumah, belajar menurut konsentrasi, memiliki sikap tawadlu’, ia mampu bertukar pendapat atau berdiskusi setelah ia memiliki kemampuan yang cukup, ia harus mengetahui nilai dan tujuan ilmu yang ia pelajari, belajar secara bertahap, serta belajar untuk berakhlaqul karimah. Pada kenyataannya murid sangat beragam baik dalam hal latar belakang ekonomi, sosial, lingkungan dan lain sebagainya termasuk beragam dalam tingkat kemampuan intelektual, emosional dan spiritualnya, maka dalam melaksanakan konsep al Ghazali ini hendaknya pendidikan dilakukan secara bertahap serta disesuaikan dengan situasi dan kondisi murid. Pada kondisi ini maka peran seorang guru sangat besar untuk menjalankan proses belajar mengajar yang disesuaikan dengan situasi dan kondisi yang ada.
Dalam perkembangan dunia pendidikan yang sangat pesat saat ini, misalnya dengan adanya Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) saat ini maka sebenarnya konsep Al Ghozali cocok untuk diterapkan karena pada KBK seorang guru bukan hanya memperhatikan seorang murid dari satu aspek saja misalnya aspek kognitif saja melainkan juga aspek aspek afektif dan psikomotorik dari seorang murid. Hal ini jika dikomparasikan dengan konsep Al Ghazali maka akan diperoleh suatu konsep yang sangat bagus karena dari akan dihasilkan insan paripurna yang memiliki IQ, EQ dan SQ yang sangat bagus, dalam artian ia akan menjadi pribadi yang memiliki kemampuan intelektual yang tinggi tetapi ia juga mampu mendekatkan diri dengan lingkungan dan Tuhannya.
Tokoh pendidikan saat ini yang memiliki konsep pendidikan seperti konsep pendidikan Al Ghazali adalah Konsep Pendidikan yang dikembangkan oleh Dr. H. Abd Halim Soebahar. Hal ini dapat dilihat dari konsep beliau tentang ilmu dan bagaimana ia mampu menerapkannya pada lembaga pendidikan yang ia pimpin yakni Sekolah Tinggi Agama Islam At-Taqwa Bondowoso.
konsep pendidikan diatas tidak ada yang menyinggung mengenai media atau sarana yang digunakan dalam proses belajar mengajar, padahal sebagaimana diketahui bahwa dalam proses pendidikan terdapat proses transfer informasi dan pengetahuan dari seorang guru kepada muridnya. Jika tidak menggunakan sebuah media yang benar dan ditunjang dengan penyampaian yang benar dari seorang guru maka bisa terjadi kesalahpahaman atau kesalahan informasi yang diterima seorang murid.
Terlepas dari kekurangan dan kelebihan yang ada, sebagai sebuah konsep pendidikan maka dalam pelaksanaannya baik konsep pendidikan Al Ghazali tidak dapat secara mutlak diterapkan karena adanya perubahan zaman, pola pikir serta budaya di masyarakat, maka sebagai alternatif adalah konsep yang baik ini dilaksanakan tetapi disesuaikan serta dimodifikasi sesuai dengan situasi dan kondisi yang dihadapi oleh masing-masing guru atau lembaga pendidikan.

D. KESIMPULAN
            Dari uraian yang telah dipaparkan maka dapatlah penulis tarik sebuah kesimpulan bahwa :
a.       Pendidikan menurut Al Gazali suatu Proses memanusiakan manusia sejak masa kejadiannya sampai akhir hayatnya melalui berbagai ilmu pengetahuan yang disampaikan dalam bentuk pengajaran secara bertahap, dimana proses pengajaran itu menjadi tanggung jawab orang tua dan masyarakat menuju pendekatan diri kepada Allah sehingga menjadi manusia sempurna.
b.      Al Ghazali memiliki sistem pendidikan yang sistematik. Dimulai dari tujuan, Subyek Pendidikan, Obyek Pendidikan, metode Pengajaran dan sistem evaluasi yang sistematis.
c.        Pendidikan yang dikembangkan oleh Al-Ghazali merupakan bagian yang tak   terpisahkan dari ajaran tasawuf yang mengandung nilai kasih sayang, kesederhanaan, rendah hati, sabar, tawakkal. Nilai-nilai ini menurut penulis dapat membantu usaha internalisasi nilai-nilai keagamaan, meningkatkan kesadaran beragama dan dapat mengantisipasi pengaruh tehnologi serta menjadi sarana dalam pembinaan moral sekaligus berdaya guna membentuk manusia berakhlak mulia.
d.       Pandangan tentang pendidikan yang dikembangkan oleh Al-Ghazali ada relevansinya dengan konsep pendidikan modern, baik dari tujuannya, pendidiknya, anak didiknya dan materinya serta metodenya.

DAFTAR PUSTAKA

Abidin Ibnu Rusn . 1998. Pemikiran al Ghazali tentang Pendidikan. Yogyakarta; Pustaka Pelajar.

Abuddin Nata. 1997. Filsafat Pendidikan Islam. Jakarta; Logos Wacana Ilmu

Al Ghazali. Ayyuha al Walad. Surabaya; Al Hidayah

_________. Ihya’ ‘Ulumuddin. Juz III

Fathiyah Hasan Sulaiman. 1986. Sistem Pendidikan versi Al Ghazaly. Terj. Fathur Rahman – Syamsudin Asrafi. Bandung; Al Ma’arif

H. Abuddin Nata. 2000. Pemikiran Para Tokoh Pendidikan Islam. Jakarta ; PT RajaGrafindo Persada.

H. M. Arifin. 1991. Filsafat Pendidikan Islam. Jakarta; Bumi Aksara.

Hasan Langgulung. 1979. Asas-asas Pendidikan Islam. Jakarta; Balai Pustaka

Muhaimin – Abdul Mudjib . 1993. Pemikiran Pendidikan Islam Kajian Filosofis dan Kerangka Dasar operasionalisasinya. Bandung; Trigenda Karya.

Nurcholish Madjid.  (Ed). 1994. Khazanah Inteletual Islam. Jakarta; Bulan Bintang.

Syahminan Zaini. 1986. Prinsip-prinsip Dasar Konsepsi Pendidikan Islam. Jakarta; Kalam Mulia I

Syaifuddin, et. all. 1998. Desekularisasi Pemikiran Landasan Islamisasi. Bandung; Mizan. Cetakan IV


[1] Hasan Langgulung. 1979. Asas-asas Pendidikan Islam. Jakarta ; Balai Pustaka. 164
[2] A.M. Syaifuddin, et. All. 1998. Desekularisasi Pemikiran landasan Islamisasi. Bandung; Mizan. Cetakan IV. 125
[3] Dewan Redaksi,  Ensiklopedi Islam Jilid 2, (PT. Intermasa, Jakarta. 1994). 25
[4] Munawir Imam, Mengenal Pribadi 30 Pendekar dan Pemikir Islam dari Masa ke Masa, (PT. Bina Ilmu Surabaya. 1985) 357-358

[5] Syakur M. Amin Masyharudin, Intelektualisme Tasawuf Study Intelektualisme Tasawuf Al-Ghazali, (Semarang. 2002) 119.

[6] Munawir Imam,  Mengenal Pribadi 30 Pendekar dan Pemikir Islam….. 365
[7] Bahri Hasbullah,  Sistematika Filsafat, (Cetakan IV, Widjaya Jakarta. 1975)
[8] Munawir Imam,  Mengenal Pribadi 30 Pendekar dan Pemikir Islam….. 365
[9] Syakur M. Amin Masyharudin, Intelektualisme Tasawuf Study…….120
[10] Ibid, 125
[11] Imam Munawir,  Mengenal Pribadi 30 Pendekar dan Pemikir Islam….. 359
[12] Ibid. 358
[13] Ibid. 359
[14] Dewan Redaksi,  Ensiklopedi Islam Jilid 2, (PT. Intermasa, Jakarta. 1994). 26
[15] Imam Munawir,  Mengenal Pribadi 30 Pendekar dan Pemikir Islam….. 363
[16] Dewan Redaksi..26.
[17] M. Amin Masyharudin Syakur, Intelektualisme Tasawuf Study Intelektualisme Tasawuf Al-Ghazali, (Semarang. 2002). 132.
[18] Ibid,
[19]Dewan Redaksi,26
[20] M. Amin Masyharudin Syakur, Intelektualisme Tasawuf Study… 137
[21] Imam Munawir,  Mengenal Pribadi 30 Pendekar dan Pemikir Islam….. 368
[22] M. Amin Masyharudin Syakur, Intelektualisme Tasawuf Study …. 138
[23] Imam Munawir,  368
[24] Abidin Ibnu Rusn. Pemikiran Al Ghazali  56.
[25] H. Abuddin Nata, 1997. Filsafat Pendidikan Islam. Jakarta; Logos Wacana Ilmu 161
[26] Syahminan Zaini. 1986. Prinsip-Prinsip Dasar Konsepsi Pendidikan Islam. Jakarta; Kalam Mulia I . 5-9
[27] Al Ghazali. Ihya’ ‘Ulumuddin. Juz III 48
[28] Fathiyah Hasan Sulaiman. Sistem Pendidikan. 24
[29] Al Ghazali. Ihya’ Ulumuddin. Juz III 12
[30] Al Ghazali. Ayyuha Al Walad. 2
[31] Abidin Ibnu Rusn. 1998. Pemikiran Al Ghazali,  67-75
[32] Muhaimin–Abdul Mudjib. 1993. Pemikiran Pendidikan Islam Kajian Filosofis dan Kerangka Dasar Operasionalisasinya. Bandung; Trigenda Karya,  177-178
[33]Abidin Ibnu Rusn. 1998. Pemikiran Al Ghazali. 77-89
[34] H. Abuddin Nata. 2000. Pemikiran Para Tokoh Pendidikan Islam. Jakarta ; PT RajaGrafindo Persada.  88 - 94
[35] Fathiyah Hasan Sulaiman. Sistem Pendidikan.  38
[36] Ibid.  66-68
[37] Abidin Ibnu Rusn. 1998. Pemikiran Al Ghazali. 107 - 116

Comments (0)