A.     Biografi Prof. Dr. H. Abdul Mukti Ali
Prof. Dr. H. Abdul Mukti Ali (lahir di Cepu, 23 Agustus 1923) adalah mantan Menteri Agama Kabinet Pembangunan II periode 1973-1978. Sejak berumur delapan tahun, Mukti menjalani pendidikan Belanda di HIS. Ketika berumur 17 tahun, ia melanjutkan pendidikan di Pondok Pesantren Termas, Kediri, Jawa Timur. Mukti Ali kemudian melanjutkan studi ke India setelah perang dunia ke dua. Ia menyelesaikan pendidikan Islam di India dengan memperoleh gelar doktor sekitar tahun 1952. Setelah itu, ia melanjutkan kembali studinya ke McGill University, Montreal, Kanada mengambil gelar MA.
Semasa hidupnya, Mukti Ali telah menulis beberapa buku seperti : Beberapa Persoalan Agama Dewasa ini, Ilmu Perbandingan Agama di Indonesia, Muslim Bilali dan Muslim Muhajir di Amerika, Ijtihad dalam Pandangan Muhammad Abduh, Ahmad Dahlan, Muhammad Iqbal, Ta`limul Muta`alim versi Imam Zarkasyi, Memahami Beberapa Aspek Ajaran Islam, Asal Usul Agama, dan Alam Pikiran Islam Modern di India dan Pakistan.
Abdul Mukti Ali meninggal dunia dalam usia 81 tahun pada tanggal 5 Mei 2004, sekitar pukul 17.30 di Rumah Sakit Umum Dr. Sardjito, Yogyakarta. Jenazahnya dimakamkan di pemakaman keluarga besar Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Sunan Kalijaga di Desa Kadisoko, Kecamatan Kalasan, Kabupaten Sleman.


B.     Pendahuluan
Pemikiran pendidikan Islam selalu menjadi topik perbincangan hangat dari waktu ke waktu. Mulai dari munculnya Islam sebagai agama hingga terelaborasinya Islam menjadi objek studi dalam ranah pemikiran para cendekiawan muslim maupun orientalis. Mulai dari zaman klasik hingga - meminjam istilah Prof. Dr. Nur Cholish Madjid – zaman neo modernis. Pada tataran konsep pemikiran pendidikan, telah banyak dikaji secara parsial maupun komprehensif tentang apa, bagaimana dan kemana arah tujuan pendidikan Islam sesungguhnya, seiring sejalan dengan perkembangan konstruk sosial umat muslim tentunya dan perkembangan ilmu pengetahuan serta tuntutan zaman.
Pada mulanya pendidikan Islam berjalan secara alamiah, apa adanya, dalam arti belum tampak dinamika pemikiran tentang konsep pendidikan Islam. Pada zaman Rasulullah misalnya, sistem pendidikan, kurikulum (materi) maupun tujuan pendidikan menjadi kewenangan beliau.  Belum ada seorangpun yang mampu memberikan masukan bahkan menentukan materi-materi pendidikan Islam. Materi pendidikan masih berkisar pada norma-norma ajaran al-Qur’an dan petunjuk al-Hadits mengenai bidang keagamaan, akhlak, kesehatan jasmani, dan pengetahuan kemasyarakatan.
Kenyatan tersebut terus berlangsung hingga akhir masa Dinasti Khulafaurrosyidin dan awal masa Dinasti Umayyah. Perhatian para khalifah maupun raja terhadap masalah pendidikan Islam terasa kurang. Para ulama’lah yang terus berjuang menelurkan konsep serta kebijakan pendidikan. Namun begitu, materi pendidikan terus berkembang hingga melahirkan berbagai macam disiplin ilmu keislaman lainnya. Mulai dari ilmu bahasa Arab, tafsir, mustholah hadits, fiqih, kalam, mantiq, falak, tarikh, kedokteran, sastra dan lainnya.
Meski dilihat pada perkembangan selanjutnya pendidikan Islam telah mengalami proses  dinamika pemikiran yang sangat luas, unsur pendidikan moral pun tak luput dari kajian pembahasan para pemikir pendidikan Islam. Pendidikan moral sendiri kemudian menjadi semacam unsur permanen dalam sistem pendidikan Islam, setidaknya dalam penetapan kurikulum maupun pemantapan visi dan misi kependidikannya.Harun Nasution berpendapat, pendidikan moral merupakan titik tekan yang sangat signifikan  dalam pendidikan Islam, karena ia merupakan salah satu inti dari ajaran agama Islam itu sendiri, selain juga pendidikan ke-teologis-an dan ke-ibadah-an.
Hal terpenting yang menjadi sorotan para pakar pendidikan Islam saat ini adalah tentang fenomena gejala kemerosotan moral masyarakat, baik orang dewasa maupun anak-anak pelajar, seperti penyelewengan, penipuan, perampokan penindasan, saling menjegal dan saling merugikan dan masih banyak perbuatan tercela lainnya.
Ironinya segala permasalahan tersebut di atas ditumpahkan kepada tanggung jawab para pendidik formal dalam mengatasinya. Meski kemudian para orang tua, ahli agama, ahli sosial dan ahli-ahli lainnya turut berkecimpung membahas akar permasalahan keburukan moral serta mengupayakan pencarian solusinya.
Terkait dengan peranan pendidikan dalam meningkatkan moralitas yang baik ini, banyak persoalan yang mesti dijawab oleh mereka. Diantaranya adalah: “dimanakah letak fungsi dan peranan pendidikan agama dalam meningkatkan akhlak dan moralitas bangsa? Adakah kesalahan yang telah dilakukan oleh dunia pendidikan? Dan bagaimanakah cara memperbaiki kinerja dunia pendidikan dalammengatasi permasalahan tersebut?”.
Seiring dengan bermuculan pertanyaan lain seputar pendidikan ini, para pakar pendidikan Islam berupaya secara konsisten memberikan pendapatnya terutama mengenai pendidikan moral. Diantara pakar tersebut adalah Harun Nasution, Nur Cholish Madjid dan Mukti Ali.
Tulisan ini bertujuan untuk memaparkan kembali beberapa konsep pemikiran pendidikan para pakar tersebut di atas, yaitu yang terkait dengan permasalahan moral dalam dunia kependidikan. Konsep-konsep tersebut kemudian disajikan secara deskriptif-analisis dengan pendekatan perbandingan pemikiran dari berbagai ahli pendidikan baik dalam maupun luar negeri.

C.     Pendidikan Moral dalam Perspektif Pemikir Islam
1.      Pemikiran Pendidikan Moral Harun Nasution
Diakui dalam diskursus wacana cendekiawan muslim bahwa pada ranah pemikiran pendidikan ada hubungan keterkaitan yang sangat erat antara pendidikan agama dan moral. Pendidikan Islam misalnya tidak terlepas dari upaya penanaman nilai-nilai serta unsur-unsur agama pada jiwa seseorang, yang diantaranya adalah nilai-nilai moral atau yang biasa disebut dengan Akhlaq.
Nilai-nilai moral yang dimaksudpun tidak terlepas dari ajaran-ajaran normativitas agama Islam seperti yang telah dicontohkan oleh Rasul. Rasulullahpun bersabda dalam sebuah Hadits bahwa Beliau diutus kepada manusia adalah untuk menyempurnakan akhlaq/moral manusia.
Tentang eratnya hubungan agama dengan moral ini kita dapat menganalisa dari keseluruhan ajaran agama Islam itu sendiri, bahwa akhirnya akan berujung pada pembentukan moral. Perintah mengucapkan dua kalimat syahadat misalnya yang merupakan inti awal masuknya seseorang ke dalam agama Islam, mengandung pesan moral agar segala ucapan dan perbuatannya dimotivasi oleh nilai-nilai yang berasal dari Tuhan dan Rasul-Nya, mencontoh sifat-sifatnya dan sekaligus diarahkan untuk selalu mendapat keridhaannya. Selanjutnya perintah shalat ditujukan agar terhindar dari perbuatan yang keji dan mungkar (lihat Q.S. al-Angkabut,2:183). Perintah zakat ditujukan untuk menghilangkan sifat kikir dan menumbuhkan sikap kepedulian (lihat Q.S. al-Taubah,2:103). Perintah ibadah haji ditujukan agar menjauhi perbuatan keji, pelanggaran secara sengaja (fasiq), dan bermusuh-musuhan (lihat Q.S. al-Baqarah,2:197).
Kaitannya dengan uraian di atas Harun Nasution kemudian berkesimpulan bahwa sebenarnya ajaran normativitas agama Islam terdiri dari dua dimensi pokok yaitu: masalah-masalah ke-Tuhan-an atau ketauhidan dan masalah-masalah kebaikan serta keburukan atau moral.
Dalam mengaktualisasikan ajaran-ajaran Islam ini maka diperlukan seperangkat proses maupun aturan sebagai media transformasi sekaligus internalisasi nilai-nilai ketauhidan dan moral yang dimaksud berupa proses dan perangkat pendidikan Islam. Perangkat pendidikan Islam harus memiliki beragam komponen di antaranya adalah pendidik, orang yang akan dididik, materi, tujuan, metode dan lain sebagainya.
Tujuan pendidikan Islam menurut Harun Nasution adalah untuk membentuk manusia yang bertaqwa, yang mengikuti segala perintah-Nya dan menjauhi segala larangan-Nya. Bertaqwa yang dimaksud adalah seperti apa yang digambarkan dalam al-Qur’an yaitu, mereka yang beriman kepada yang gaib, melaksanakan shalat, menginfakkan sebagian rezeki, beriman kepada Al-qur’an dan kitab-kitab yang telah diturunkan Allah kepada Rasul-Nya serta yakin akan adanya hari kiamat (lihat Q.S. al-Baqarah,2:3-4).
Dari konsep tersebut akan dapat kita tangkap bahwa tujuan pendidikan Islam mengindikasikan kearah dua kutub yang berbeda namun saling berkaitan yaitu, di samping mengutamakan ketauhidan dengan segala persoalannya (teosentris), tetapi juga mengakomodasi pentingnya peran moral manusia dalam berinteraksi dengan jenisnya (humanis).
Tentang dua indikasi ini Harun Nasution berpendapat bahwa pendidikan Islam sebaiknya memiliki bahan/materi pendidikan yang secara umum didasarkan pada tujuan spiritual, moral dan intelektual, yang kemudian oleh pakar pendidikan disebut dengan istilah Kecerdasan Spiritual, Intelektual, dan Emosional.
Meski begitu, Harun Nasution melihat lebih pentingnya penekanan terhadap aspek pendidikan moral. Pendapat tersebut mengisyaratkan beberapa kemungkinan bahwa pendidikan moral akan dengan sendirinya mengarahkan manusia kepada konsep tauhid dalam Islam. Bahwa dengan aturan moral dapat ditarik hikmah akan adanya pencipta yang mengatur segalanya di bawah satu Pengatur yaitu Tuhan. Dan juga bahwa pendidikan moral merupakan bentuk lain dari pendidikan tauhid. Sampai di sini kiranya apa yang ingin ditafsirkan oleh Harun Nasution tentang hadits “Bu’itstu li utammima makaarimal akhlaaq”.
Pendapat ini seperti juga yang disampaikan oleh Ibn Miskawaih bahwa letak keutamaan pentingnya pendidikan moral adalah dalam urgensi nilainya yang cukup signifikan dalam membentuk kepribadian manusia. Bahwa semua krisis yang melanda manusia termasuk di dalamnya krisis spiritual lebih disebabkan oleh hancurnya pendidikan Akhlak. Minusnya moral (akhlaq) ini akan membuat predikat manusia yang mulia – dengan akhlaq dan taqwa – turun menjadi hina (lihat Q.S. al-Tin,95:5).
Karena penekanan pendidikan Islam adalah pendidikan moral, maka metode yang dipakai menurut Harun sebaiknya :
1.    Pemberian contoh dan teladan
2.    Pemberian nasehat
3.    Pemberian bimbingan / tuntunan moral dan spiritual
4.    Kerjasama antara tiga komponen pendidikan yaitu; sekolah, rumah (keluarga), dan lingkungan (masyarakat)
5.    Tanya jawab dan Diskusi
6.    Kerjasama dengan pihak lain
Agar metode tersebut dapat berjalan dengan baik dan benar maka perlu untuk memperhatikan kondisi para pendidiknya. Kualitas pendidik Islam harus mencerminkan pendidik yang bertanggung jawab, penuh wibawa, cerdas, tangkas, beriman dan memiliki wawasan yang luas. Menurut Harun kualitas para pendidik Islam setidaknya memiliki kriteria :
1.    Sanggup memberi contoh
2.    Menguasai ilmu-ilmu pendidikan
3.    Menguasai pengetahuan yang luas tentang agama
4.    Menguasai pengetahuan umum
Kemudian apabila melihat kepada anak didik, Harun Nasution berpendapat bahwa pendidikan Islam yang menekankan pentingnya pendidikan moral ini harus dilaksanakan sejak anak masih bersih kalbunya dan belum ternodai oleh kebiasaan-kebiasaan tidak baik, kerena menurutnya apabila sudah ternoda akan susah untuk menghilangkannya.
Pendapat tersebut sesuai dengan apa yang disampaikan oleh Ali Asyraf bahwa pendidikan moral harus ditanamkan terhadap seorang anak sejak dari tahap awal sekali walaupun realisasi spiritual yang sebenarnya merupakan pencapaian terakhir. Artinya pendidikan moral diusahakan dilaksanakan semenjak anak masih dini dan belum terlalu mengenal kehidupan lingkungan yang begitu luas.
Emile Durkhiem pun berpendapat demikian, bahwa kondisi perkembangan intelektual anak-anak usia dini masih belum sempurna. Begitu juga kehidupan emosinalnya masih terlalu sederhana dan belum berkembang. Nah pada tahap inilah penanaman aspek dasar pendidikan moral sangat dipentingkan untuk dapat diserap oleh mereka. Sebaliknya apabila telah melewati tahap usia dini tetapi belum diletakkan dasar-dasar moral kepada mereka, maka dasar-dasar moral itu tidak akan pernah tertanam dalam diri si anak.
Sampai di sini Harun Nasution kemudian menekankan pentingnya penekanan terhadap terminologi pendidikan itu sendiri dari sekedar pengajaran moral Islam. Hal tersebut penting karena di masyarakat telah terjadi salah kaprah tentang pendidikan itu sendiri. Titik tekan pendidikan moral diletakkan pada bagaimana si anak terdidik berpengetahuan moral, bukan bertujuan bagaimana mereka memiliki jiwa yang sangat bermoral secara Islami.



2. Pemikiran Pendidikan Moral Nur Cholish Madjid
Lain halnya dengan Harun Nasution, Nur Cholish Madjid menyoroti lebih tajam tentang pendidikan moral dalam perspektif pendidikan Islam. Ia berpendapat bahwa penekanan pendidikan moral harus lebih diarahkan pada bagaimana membentuk manusia dapat saleh secara maknawi dan bukan hanya saleh lahiri. Kaitannya dengan ini Al-Qur’an menjelaskan bahwa Allah tidak melihat kondisi lahiriah manusia tetapi lebih melihat kondisi batinnya (lihat Q.S. an-Najm,53:32 dan an-Nisa’ 4:49). Kesalehan maknawi yang dimaksud adalah kemuliaan moral yang tampak sangat melekat pada pribadi seseorang tanpa terjebak maupun dijebak oleh keadaan-keadaan formalitas masyarakat sekelilingnya. Dalam konteks pendidikan Islam kesalehan maknawi ini merupakan wujud dari akhlaqul karimah atau akhlaq mulia.
Lebih lanjut akhlaq mulia dalam dimensi yang lebih luas berkaitan dengan prinsip-prinsip inklusivisme keagamaan (wajib beriman), kosmologi (paradigma optimis-positif kepada alam, yang juga berkaitan dengan teori ilmu yang benar), antropologi (pandangan manusia sebagai makhluk tertinggi dengan hak-hak asasinya, yangdilahirkan dalam fitrah dan bersifat hanif). Kemudian berkenaan dengan kesalehan maknawi ini, pertanyaan penting yang harus dijawab adalah bagaimana cara membuat para calon terdidik dapat beramal saleh dengan sebanr-benarnya tanpa terjebak ke dalam kehidupan pragmatisme. Seperti yang telah menjadi rahasia umum bahwa dalam kondisi sosial masyarakat yang serba modernis, hedonis, pragmatis seringkali menyebabkan keguncangan jiwa masyarakat itu sendiri, yang akhirnya mengakibatkan tampilnya secara subur simbol-simbol keagamaan formal dan penampilan-penampilan keagamaan lahiriah, sehingga kesalehan lahiripun mengecoh orang banyak. Jawabannya sulit memang tetapi dengan kesungguhan usaha dari para pendidik diharapkan akan mampu diwujudkan para calon terdidik dengan kesalehan yang diharapkan.
Untuk itu, diantara yang perlu dipersiapkan adalah para calon terdidik yang benar-benar excellent dalam pendidikan Islam, yang diantaranya mampu mencerminkan sifat-sifat yang dimiliki oleh Rasulullah yaitu; shiddiq, amanah, tabligh, fathonah. Dalam hal ini kesulitan yang menghadang adalah bahwa paradigma para calon terdidik telah dikungkung oleh pandangan umum akan rendahnya kualitas studi-studi keagamaan sebagai akibat dari padangan “modern” saat ini, gengsi keagamaan khusus merosot tajam, karena dianggap tidak mampu memberi “janji kerja” (promise job) yang memadai dan lain sebagainya.
Di lain hal kebutuhan akan tenaga pengajar yang benar-benar profesional di bidangnya, terutama pendidikan moral ke-Islaman, sangat jarang ditemukan. Yang ada hanyalah tenga pengajar yang terjebak ke dalam mind set nya sendiri akan ajaran-ajaran dogmatis yang kaku dan tidak dapat menarik perhatian.
Melihat kesulitan-kesulitan di atas, ada beberapa solusi pemecahan alternatif sebagaimana yang telah dikemukakan oleh Abuddin Nata yaitu: pertama, pendidikan agama yang dapat menghasilkan perbaikan moral harus dirubah dari model pengajaran agama kepada pendidikan agama. Kedua, pendidikan moral dapat dilakukan dengan pendekatan integrated, yaitu dengan melibatkan seluruh disiplin ilmu pengetahuan. Ketiga, sejalan dengan cara yang kedua tersebut, pendidikan moral harus melibatkan seluruh guru. Keempat, pendidikan moral harus didukung oleh kemauan, kerjasama yang kompak dan usaha yang sungguh-sungguh dari keluarga/rumah tangga, sekolah dan masyarakat. Kelima,pendidikan moral harus menggunakan berbagai macam kesempatan, berbagai sarana teknologi modern dan lainnya seperti kesempatan berekreasi, berkemah, sarana masjid, surat kabar, radio, televisi dan lain sebagainya.

3. Pemikiran Pendidikan Moral Mukti Ali
Secara umum, Mukti Ali menyoroti masalah etika, akhlaq atau moral lebih pada bagaimana ia dapat diakses dan diterapkan oleh golongan pelajar yang terbagi dua yaitu, golongan intelektual atau cendekiawan dan kaum praxis. Menurutnya kaum cendekiawan dengan kemampuan intelektualnya harus memiliki nilai-nilai moral dalam setiap ranah intelektual pengetahuannya. Ide-ide, konsep-konsepnya harus bisa lebih mendorong mereka untuk perbaikan-perbaikan, penyempurnaan-penyempurnaan dari sebuah keadaan yang sekarang dialami. Hal ini bukan berarti keadaan sekarang tidak lebih baik, tetapi bagaimana kegelisahan para cendekiawan tersebut dapat memberi sumbangan berarti terhadap keadaan moral masyarakat ke arah yang lebih baik. Untuk itu, menurut Mukti Ali, salah satu syarat seorang cendekiawan terutama cendekiawan muslim adalah bahwa ia harus memiliki kecakapan untuk melahirkan pikiran-pikiran tentang moral dalam kata-kata, baik lisan maupun tulisan.
Sedangkan kepada golongan praxis, yang lebih dituntut adalah bagaimana ia dapat menerapkan praktek moral dalam kehidupan sehari-hari, yang sangat berkaitan dengan hal-hal yang kongkrit. Lebih jauh tugasnya adalah melakukan tindakan-tindakan untuk mengatasi persoalan-persoalan empirik.
Sampai di sini, menurut hemat penulis, sebenarnya perbedaan antara kaum intelektualis dan kaum praxis ini hanyalah memiliki fungsi untuk memisahkan bidang garap masing-masing kaum itu sendiri, tidak lebih pada bagaimana keduanya sama-sama memiliki peran yang signifikan dalam proses kehidupan bermoral di masyarakat. Atau lebih jelasnya pemisahan itu untuk memberikan batasan-batasan peran masing-masing dalam memberikan sumbangan manfaat ke dalam kehidupan berinteraksi sosial. Untuk itu maka perbedaan tersebut mungkin lebih dikenal sebagai perbedaan dialektis daripada perbedaan dikotomis.
Perbedaan dialektis yang dimaksud adalah bahwa titik temu kedua terminologi tersebut adalah bahwa kaum intelektualis dengan kritik sosial dan ide-ide moralnya dapat mampu menyumbangkan hal yang bermafaat dalam tataran praxis. Dan bahwa kaum praxis dengan sendirinya akan memberikan sumbangan berharga bagi pengamatan-pengamatan yang dilakukan oleh kaum intelektualis.
Kemudian keluar dari permasalahan tersebut, seperti pendapat para cendekiawan muslim lainnya, Mukti Ali tidak menafikan akan adanya hubungan ‘organik’ antara pendidikan agama dan moral. Bahwa sistem agama, yang berupa oerientasi nilai, keyakinan, norma hukum, juga mempunyai saham yang tidak kecil dalam membentuk watak dan tingkah laku seseorang.
Lebih jauh menurutnya fungsi pokok agama adalah mengintegrasikan hidup. Bahwa agama dengan nilai-nilai moralnya amat diperlukan dalam kehidupan manusia. Contoh kecil dari hubungan agama dan moral ini dapat dilihat dari fenomena dewasa ini tentang kekhawatiran masyarakat terhadap perubahan-perubahan sosial yang merugikan akhlak atau moral di kalangan penduduk kota-kota besar. Dalam hal ini nilai-nilai moral dalam agama dirasa penting untuk diterapkan.
Dalam Islam, al-Qur’an misalnya menginginkan untuk menegakkan kehidupan masyarakat yang egaliter, baik sosial,politik dan sebagainya yang ditegakkan pada dasar-dasar etika. Hal tersebut dapat dilihat dari ayat-ayat yang menyiratkan tentang “memakmurkan bumi” atau “menjauhi kerusakan di dunia”. Juga dapat dilihat dari ayat tentang tugas manusia yang dinyatakan dengan amar ma’ruf dan nahi mungkar. Sampai di sini semakin jelalah akan adanya hubungan yang tak teroisakan antara nilai-nilai agama yang diinternalisakan kepada manusia dengan pendidikan agama dengan pendidikan moral.

D. Kesimpulan
Sampai pada akhir tulisan ini, penulis dapat menyimpulkan bahwa para pemikir Islam kontemporer tersebut di atas memiliki kesamaan visi dalam memandang pendidikan moral dalam perspektif pendidikan Islam. Hal tersebut dapat dilihat dari pendapat bahwa pendidikan agama dan moral sangat memiliki hubungan yang erat. Dan bahwa apapun bentuk interaksi sosial manusia tentu tidak terlepas dari perilaku moral atau etika dan akhlaq. Berangkat dari kesamaan visi tersebut, maka cita-cita pemikiran pendidikan Islam kontemporer mengedepankan pentingnya mendasari setiap bentuk pendidikan di atas bangunan moral yang tinggi.
Kiranya demikian tulisan ini penulis sampaikan. Semoga bermanfaat. Wallahu a’lamu bisshowab.














DAFTAR PUSTAKA

Ali, Mukti, Beberapa Persoalan Agama Dewasa ini. Jakarta: Rajawali, 1987
Asyraf, Ali, Horison Baru Pendidikan Islam, Jakarta: Pustaka Firdaus, 1989
al-Kahlani, Imam, Subul al-Salam, Jilid I, Mesir: Dar al-Ma’arif, 1954, h.231 dalam Abuddin Nata, Manajemen Pendidikan Mengatasi Kelemahan Pendididkan Islam di Indonesia, Jakarta: Kencana, 2003
Durkheim, Emile, Pendidikan Moral, Jakarta: Erlangga, 1999
Madjid, Nur Cholish, Masalah Pendidikan Agama di Perguruan Tinggi Umum, dalam Fuaduddin & Cik Hasan Bisri (Ed) Dinamika Pemikiran Islam di Perguruan Tinggi, Jakarta: Logos, 2002
Nasution, Harun, Islam Rasional, Bandung: Mizan, 1998
Nata, Abuddin, Manajemen Pendidikan Mengatasi Kelemahan Pendididkan Islam di Indonesia, Jakarta: Kencana, 2003
Suwendi, Sejarah & Pemikiran Pendidikan Islam, Jakarta: Rajawali Press, 2004
Tolkhah, Imam dan Ahmad Barizi, Membuka Jendela Pendidikan, Jakarta: Rajagrafindo Persada, 2004

Comments (0)