BAB I
PENDAHULUAN

A.     Latar Belakang Masalah

Islam lahir membawa akidah ketauhidan, melepaskan manusia kepada ikatan-ikatan kepada berhala-berhala, serta benda-benda lain yang posisinya hanyalah sebagai makhluk Allah SWT. Ketauhidan yang membawa manusia kepada kebebasan sejati terhadap apapun yang ada, menuju kepada ketundukan kepada Allah SWT. Penanaman tauhid ini dilakukan selama 13 tahun oleh Rasulullah SAW, waktu yang cukup panjang, namun hanya 40 orang saja yang mampu melepaskan budaya nenek moyangnya, berani mengingkari leluhur mereka, dan menuju jalan yang terang “tauhid Islamiyah”. Semua utusan Allah membawa pesan yang sama yakni tauhid bahwa tidak ada Tuhan selain Allah.
Saat ini, di era modern ini, kita bersyukur sebagian besar penduduk bangsa ini telah menganut Islam sebagai agamanya, melepaskan adat budaya yang berusaha dihapus dan dihilangkan oleh para pembawa Islam jika budaya tersebut bertentangan dengan prinsip ketauhidan menurut Al Quran dan Al Hadits. Keyakinan terhadap budaya animisme dan dinamisme, kepercayaan akan kekuatan batu besar, pohon besar, kuburan seorang tokoh masyarakat, semua itu tidak dapat mendatangkan kebaikan dan mudlorot, hanya Allah-lah yang mampu mendatangkan kebaikan dan keburukan. Kedua jenis kepercayaan tersebut saat ini sudah mulai terkikis.
Budaya tersebut kini mulai hilang sebenarnya, namun masyarakat mulai disuguhi informasi-informasi yang kembali membawa budaya animisme-dinamisme, informasi-informasi yang seharusnya diluruskan kembali agar sesuai dengan ajaran Islam. Media cetak contohnya banyak mencekoki masyarakat dengan cerita-cerita yang “bertentangan” dengan ketauhidan, seperti majalah Mistis, tabloid Posmo, koran Merapi, majalah Liberty. Ditambah lagi tayangan-tayangan televisi dan layar lebar, meskipun diniatkan hanya sebagai hiburan, tapi tidak sedikit yang menjadi takut akan gelap, pohon yang dikatakan angker, harus diruwat, diberi sesaji, serta tidak sedikit yang lebih percaya kepada dukun atau paranormal ketimbang keyakinannya akan kekuatan dan kekuasaan Allah SWT. Meskipun tidak semua tayangan dan pemberitaan tersebut negatif.
Sebagai contoh, Film 2012 yang semakin marak dikalangan masyarakat sebagian orang mempercayai akan hal itu. sutradara yang menggarap film itu, penggarapannya di sajikan pada sisi lain; pencahayaan yang dipadukan dengan setting alam, serta dukungan efek komputer, sehingga tercipta suasana kiamat yang sesungguhnya, penuh kejutan-kejutan yang sulit ditebak. Hasilnya, meski banyak penonton yang takut, tetap saja membludak.
Sebenarnya terasa tidak berlebihan, bila kita menyebut 2012 adalah akhir dari kehidupan di dunia. Film di Tanah Air cenderung berlomba-lomba menggarap tayangan-tayangan bertema misteri atau horor.
Barangkali, munculnya tayangan film seperti itu baru mengikuti tren yang berkembang di masyarakat. Animo luar biasa terhadap tontonan yang berbau mistis saat ini lebih terasa bila dibandingkan tiga atau empat tahun lalu. Tayangan-tayangan yang mengangkat hal-hal diluar jangkauan indrawi merebak di semua stasiun televisi, dari yang pakai trik kamera sampai yang minus rekayasa. Rasa ketakutan tapi disukai penonton dan sesuai rumus dagang, iklanpun berdatangan.
Masalah-masalah gaib kini menjadi topik dalam beberapa tayangan tayangan televisi, jin, setan hantu, pohon angker dan pesugihan, meskipun tayangan tersebut memberikan informasi bagi para penontonnya, namun hal ini membuat penulis tertarik ingin mengangkat masalah ketauhidan, masalah klasik namun harus tetap dan wajib bagi seorang muslim.
Dalam masa-masa dan keadaan krisis, manusia sangat membutuhkan pertolongan. Oleh karena itu, mereka mendatangi siapa saja yang mereka anggap mampu menolong mereka seperti, orang-orang suci, para nabi, imam, para syuhada, bahkan meminta pertolongan pada malaikat dan peri. Dengan berbaiat dan bersumpah kepada para penolong itu, mereka memohon pertolongan yang mereka harap, dengan memohon agar yang mereka datangi itu bisa memenuhi keinginan mereka. Kadang ada juga menawarkan sesuatu persembahan yang istimewa kepada para penolong itu, sehingga (menurut pikiran mereka) akan lebih memperbesar kemungkinan akan terkabulnya semua keinginan mereka.
Dari paparan di atas, jelas terlihat bahwa sebagian umat Islam masih ada yang melakukan cara-cara yang dilakukan oleh orang non muslim dalam memperlakukan dewa-dewi mereka, kepada para nabi, orang-orang suci, imam, syuhada, malaikat dan roh halus. Namun, meski mereka melakukan dosa-dosa seperti di atas, mereka tetap mengaku masih sebagai orang Islam yang mereka merasa perbuatan itu tidak mengurangi kualitas keIslamanya[1]
Hal ini sudah disinyalir oleh Allah SWT dalam al Qur’an yaitu surat Yunus ayat 106 :

$tBur ß`ÏB÷sムNèdçŽsYò2r& «!$$Î/ žwÎ) Nèdur tbqä.ÎŽô³B ÇÊÉÏÈ  
Artinya : Dan sebahagian besar dari mereka tidak beriman kepada Allah, melainkan dalam keadaan mempersekutukan Allah (dengan sembahan-sembahan lain). [2]
Lebih jauh lagi kita diperingatkan, bahwa siapapun yang berdoa kepada sesuatu/seseorang yang mereka menyangka hanya untuk mendekatkan diri kepada Allah, juga tergolong musyrik sebagaimana firman Allah :
Ÿwr& ¬! ß`ƒÏe$!$# ßÈÏ9$sƒø:$# 4 šúïÏ%©!$#ur (#räsƒªB$# ÆÏB ÿ¾ÏmÏRrߊ uä!$uŠÏ9÷rr& $tB öNèdßç6÷ètR žwÎ) !$tRqç/Ìhs)ãÏ9 n<Î) «!$# #s"ø9ã ¨bÎ) ©!$# ãNä3øts óOßgoY÷t/ Îû $tB öNèd ÏmÏù šcqàÿÎ=tGøƒs 3 ¨bÎ) ©!$# Ÿw Ïôgtƒ ô`tB uqèd Ò>É»x. Ö$¤ÿŸ2 ÇÌÈ  

Artinya :Ingatlah, hanya kepunyaan Allah-lah agama yang bersih (dari syirik). Dan orang-orang yang mengambil pelindung selain Allah (berkata) : “Kami tidak menyembah mereka melainkan supaya mereka mendekatkan kami kepada Allah dengan sedekat-dekatnya”. Sesungguhnya Allah akan memutuskan di antara mereka tentang apa yang mereka berselisih padanya. Sesungguhnya Allah tidak menunjuki orang-orang yang pendusta dan sangat ingkar.[3]

Kepribadian muslim dibentuk sejak dini, pengajaran akhlak dan moralitas Islam kepada seseorang sebaiknya tidak kita lakukan secara drastis, melainkan dilakukan secara gradual dan berangsur-angsur[4]. Orang tua sebagai seorang muslim haruslah memiliki keyakinan akidah tauhid yang berkualitas. Namun alangkah baiknya jika orang tua juga mengerti materi-materi ketauhidan, sehingga orang tua dapat membekali anak-anaknya dengan keilmuan yang didukung dengan ketauladanan tauhid sehingga terbentuk kepribadian seorang muslim sejati.
Semakin kurang tauhid seorang muslim, semakin rendah pula kadar akhlak, watak kepribadian, serta kesiapannya menerima konsep Islam sebagai pedoman dan pegangan hidunya. Sebaliknya, jika akidah tauhid seseorang telah kokoh dan mapan (established), maka terlihat jelas dalam setiap amaliahnya. Setiap konsep yang berasal dari Islam, pasti akan diterima secara utuh dan dengan lapang dada, tanpa rasa keberatan dan terkesan mencari-cari alasan hanya untuk menolak.Inilah sikap yang dilahirkan dari seorang muslim sejati.[5]
Islam atau Al Quran menghendaki agar pengabdian, pemujaan, atau ketaatan hanya tertuju kepada Tuhan, dan bila berdoa atau berharap kepada-Nya, haruslah bersifat langsung tanpa perantara seperti yang dilakukan kaum musyrikin.
ö@è% uqèd ª!$# îymr& ÇÊÈ   ª!$# ßyJ¢Á9$# ÇËÈ   öNs9 ô$Î#tƒ öNs9ur ôs9qムÇÌÈ   öNs9ur `ä3tƒ ¼ã&©! #·qàÿà2 7ymr& ÇÍÈ   (سورة الاخلاص : 1-4)
Artinya :     Katakanlah : “Dialah Allah , Yang Maha Esa, Allah adalah tuhan Yang bergantung kepadanya segala sesuatu, Dia tiada beranak dan tiada pula diperanakkan, dan tidak ada seorangpun yang setara dengan Dia”.[6]
Pemurnian tauhid menolak segala bentuk kemusyrikan bahwa tidak ada satu kekuatanpun yang menyamai Allah SWT. Tetapi sayangnya bahwa akidah itu telah dicampuri secara keseluruhan oleh pemikiran-pemikiran yang diada-adakan  oleh manusia, bahkan ada yang dinodai oleh sekumpulan pendapat yang tidak mencerminkan keyakinan yang hak. Oleh sebab itu, lalu tidak dapat mendalam sampai ke dasar jiwa dan tidak pula dapat mengarahkan ke jurusan yang bermanfaat dalam kehidupan ini, juga tidak dapat memberi pertolongan untuk dijadikan pendorong guna menempuh jalan yang suci yang mencerminkan kemurnian peri kemanusiaan serta keluruhan ruhaniah.
Lembaga pendidikan merupakan salah satu institusi harapan masyarakat, begitu pula keluarga. Keluarga merupakan pencetak dan pembentuk generasi-generasi bangsa dan agama. Generasi yang memiliki otak yang handal dan moral atau etika yang berkualitas. Secara ideal, pendidikan Islam berupaya untuk mengembangkan semua aspek kehidupan manusia dalam menacapai kesempurnaan hidup, baik yang berhubungan dengan manusia, terlebih lagi dengan sang Pencipta.[7]
Keluarga adalah lingkungan pertama bagi pembentukan ketauhidan anak. Sebagaimana dwifungsi keluarga yaitu fungsi internal (sebagai pusat pendidikan pertama dan utama) dan fungsi eksternal (sebagai unit terkecil masyarakat)[8], Orangtua adalah unsur utama bagi tegaknya tauhid dalam keluarga, sehingga setiap orang wajib memiliki tauhid yang baik, sehingga dapat membekali anak-anaknya dengan ketauhidan dan materi-materi yang mendukungnya, disamping anak dapat melihat orang tuanya sebagai tauladan yang memberikan pengetahuan sekaligus pengalaman, dan pengarahan
Jika latihan-latihan dan bimbingan agama terhadap anak dilalaikan orang tua atau dilakukan dengan kaku dan tidak sesuai, maka setelah dewasa ia akan cenderung kepada atheis bahkan kurang perduli dan kurang membutuhkan agama, karena ia tidak dapat merasakan apa fungsi agama dalam hidupnya. Namun sebaliknya jika pendidikan tentang Tuhan diperkenalkan sejak kecil, maka setelah dewasa akan semakin dirasakan  kebutuhannya terhadap agama.[9]
Anak adalah amanat Allah kepada para orang tua. Amanat adalah sesuatu yang dipercayakan kepada seseorang yang pada akhirnya akan dimintai pertanggungjawaban. Firman Allah :
$pkšr'¯»tƒ z`ƒÏ%©!$# (#qãZtB#uä Ÿw (#qçRqèƒrB ©!$# tAqߧ9$#ur (#þqçRqèƒrBur öNä3ÏG»oY»tBr& öNçFRr&ur tbqßJn=÷ès? ÇËÐÈ  
Artinya :  Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengkhianati Allah dan Rasul (Muhammad) dan (juga) janganlah kamu mengkhianati manat-amanat yang dipercayakan kepadamu, sedang kamu mengetahui. [10]
Anak merupakan salah satu bagian dalam keluarga, sehingga secara kodrati tanggung jawab pendidikan tauhid berada di tangan orang tua. Kecenderungan anak kepada orang tua sangat tinggi, Apa yang ia lihat, dengar dari orang tuanya akan menjadi informasi belajar baginya.
Berdasarkan paparan di atas, maka penelitian ini akan mengungkap lebih jauh bagaimana aplikasi pendidikan tauhid dalam keluarga dengan studi kasus pada Desa Kebaman Kecamatan Srono Kabupaten Banyuwangi.

B.     Fokus Penelitian

Masalah merupakan bagian dari kebutuhan seorang untuk dipecahkan. Dan orang ingin mengadakan penelitian, karena ia ingin mendapatkan jawaban dan pemecahan masalah yang dihadapi. Agar pemecahan masalah tersebut lebih mudah mendapatkan hasil, diperlukan perumusan masalah itu sendiri. Rumusan masalah atau yang biasa disebut dengan fokus penelitian ialah merupakan rincian pernyataan tentang cakupan atau topik-topik pokok yang akan diungkapkan atau digali dalam penelitian[11]
Adapun fokus penelitian atau perumusan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut.
a.       Bagaimana aplikasi pendidikan tauhid dalam keluarga ?
b.      Bagaimana aplikasi pendidikan tauhid yang berupa keesaan Dzat Allah dalam keluarga ?
c.       Bagaimana aplikasi pendidikan tauhid yang berupa keesaan Sifat Allah dalam keluarga?
d.      Bagaimana aplikasi pendidikan tauhid yang berupa keesaan Af’al/perbuatan Allah dalam keluarga?

C.     Tujuan Penelitian

Tujuan pokok suatu penelitian ialah memecahkan masalah-masalah sebagaimana dirumuskan sebelumnya, untuk perumusan tujuan penelitian hendaknya tidak menyimpang dari usaha memecahkan masalah tersebut[12]. Adapun tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian kali ini ialah :
a.       Mendeskripsikan aplikasi pendidikan tauhid dalam keluarga ?
b.      Mendeskripsikan aplikasi pendidikan tauhid yang berupa keesaan Dzat Allah dalam keluarga ?
c.       Mendeskripsikan aplikasi pendidikan tauhid yang berupa keesaan Sifat Allah dalam keluarga?
d.      Mendeskripsikan aplikasi pendidikan tauhid yang berupa keesaan Af’al/perbuatan Allah dalam keluarga?


D.    Manfaat Penelitian

a.       Teoritis
Menampilkan tentang aplikasi pendidikan tauhid dalam keluarga terkait dengan tauhid yang berupa kesatuan dzat, sifat dan af’al/perbuatan Allah, sekaligus fakta-fakta yang terjadi dilapangan yaitu di desa Kebaman Kecamatan Srono Kabupaten Banyuwangi
b.      Praktis
                           i.      Bagi peneliti
Memberikan lebih banyak wawasan dan pengetahuan mengenai aplikasi pendidikan tauhid yang berupa keesaan dzat, sifat dan perbuatan Allah dalam keluarga di Desa Kebaman Kecamatan Srono Kabupaten Banyuwangi
                         ii.      Bagi Sekolah Tingggi Agama Islam Negeri Jember
Memberikan informasi tentang realita atau kenyataan yang terjadi terkait dengan aplikasi pendidikan tauhid dalam keluarga di Desa Kebaman Kecamatan Srono Kabupaten Banyuwangi. Juga Diharapkan memiliki nilai akademis dan mampu memberikan sumbangan pemikiran tentang pendidikan tauhid dalam keluarga
                        iii.      Bagi masyarakat
Sebagai informasi bagi setiap orang tua keluarga bagaimana memberikan pendidikan tauhid dan materi yang disampaikan kepada anak-anak mereka

E.     Definisi Istilah

            Skripsi ini berjudul "Aplikasi Pendidikan Tauhid Dalam Keluarga” .Judul tersebut mengandung pengertian yang perlu penjelasan, penegasan, serta ruang lingkup agar tidak terjadi kesalahpahaman dalam memahami judul dan keinginan penulis.
1. Konsep merupakan kata atau istilah serta simbol untuk menunjuk pengertian dari pada barang sesuatu baik konkret maupun sesuatu hal yang bersifat abstrak.[13] Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, konsep berarti sebagai rancangan ide, gambaran, atau pengertian dari peristiwa nyata atau konkret kepada yang abstrak dari sebuah obyek maupun proses.[14] Sedangkan konsep dalam penulisan ini ialah sejumlah rancangan, ide, gagasan, gambaran atau pengertian yang bersifat konkret maupun abstrak tentang  materi dan metode pendidikan tauhid dalam keluarga menurut pendidikan Islam.
2. Pendidikan, Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, pendidikan dapat diartikan sebagai proses perubahan sikap dan tata laku seseorang atau kelompok orang dalam usaha mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran dan latihan;proses, perbuatan, cara mendidik.[15]
Pada hakekatnya pendidikan adalah usaha orang tua atau generasi tua untuk mempersiapkan anak atau generasi muda agar mampu hidup secara mandiri dan mampu melaksanakan tugas-tugas hidupnya dengan sebaik-baiknya. Orang tua atau generasi tua memiliki kepentingan untuk mewariskan nilai, norma hidup dan kehidupan generasi penerus.
3. Tauhid, dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia kata tauhid merupakan kata benda yang berarti keesaan Allah; kuat kepercayaan bahwa Allah hanya satu. Perkataan tauhid berasal dari bahasa Arab, masdar dari kata wahhada (وحد) yuwahhidu (يوحد) .Secara etimologis, tauhid berarti keesaan. Maksudnya, keyakinan bahwa Allah SWT adalah Esa;Tunggal;satu. Ilmu tauhid juga dikenal pula dengan ilmu usul uddin, ilmu aqoid dan ilmu kalam, yang pada intinya brkaitan dengan upaya memahami dan meyakini adanya Allah dengan segala sifat-sifat dan perbuatan-Nya, termasuk pula mengenai rukun iman.[16]
     
Menurut Zainuddin, tauhid berasal dari kata “wahid”(واحد) yang artinya “satu”. Dalam istilah Agama Islam, tauhid ialah keyakinan tentang satu atau Esanya Allah, maka segala pikiran dan teori berikut argumentasinya yang mengarah kepada kesimpulan bahwa Tuhan itu satu disebut dengan Ilmu Tauhid.[17]
Namun Pendidikan tauhid dalam penulisan ini difokuskan kepada usaha yang dilakukan orang tua untuk menumbuhkan kekuatan kodrat anak, agar mereka menjadi manusia muslim yang meyakini keesaan Allah, yang meliputi taihud rububiyah dan tauhid uluhiyah serta dapat mengamalkan ketauhidan yang ia miliki dalam rangka mencapai kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat, melalui pengajaran, latihan, dan metode tertentu untuk menyampaikan materi-materi ketauhidan, yakni ilahiyat, nubuwat, ruhaniyat, dan sam’iyyat.
4. Keluarga, kata benda ini dimaksudkan untuk ibu bapak beserta anak-anaknya;seisi rumah.[18] Keluarga dalam penulisan ini adalah keluarga muslim, yang hidup di Desa Kebaman Kecamatan Srono Kabupaten Banyuwangi
Jadi dalam penelitian ini nantinya akan menjelaskan bagaimana konsep pendidikan tauhid yang meliputi tauhid rububiyah, tauhid uluhiyah dan tauhid asma’ wa sifat dalam keluarga yang nantinya akan terfokus pada keluarga di Desa Kebaman Kecamatan Srono Kabupaten Banyuwangi.

F.      Sistematika Pembahasan

Penulis membagi penelitian ini menjadi beberapa bab yang terangkum dalam sitematika pembahasan berikut ini :
Bab kesatu : merupakan pendahuluan, berisikan pendahuluan menjelaskan tentang latar belakang masalah, fokus penelitian/rumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, definisi istilah dan sistematika pembahasan.
Bab kedua : Berisikan kajian pustka yang akan membahas tentang konsep pendidikan tauhid, meliputi tauhdi rububiyah, tauhid uluhiyah dan tauhid asma’ wa sifat, konsep pendidikan tauhid dalam kelurga
Bab ketiga : metode penelitian yang berisikan tentang pendekatan an jenis penelitian, lokasi penelitian, sumber data, teknik pengumpulan data, nalisis data, keabsahan data dan tahap-tahap penelitian
Bab keempat : berisi penyajian data dan analisis yaitu berupa gambaran obyek penelitian, penyajian  data dan analsis data serta pembahasan temuan dilapangan
Bab kelima : penutup yang berisi kesimpuan hasil penelitian dan saran-saran























            BAB II
KAJIAN KEPUSTAKAAN
A.  Karya tulis terdahulu
Berdasarkan penelusuran penulis terhadap karya ilmiah skripsi/tesis/disertasi diperpustakaan STAIN JEMBER Sunan Kalijaga Yogyakarta bahwa yang membahas tentang pendidikan tauhid dalam keluarga belum penulis temukan secara khusus, namun ada beberapa skripsi yang menulis tentang pendidikan keimanan. Namun yang menggunakan istilah pendidikan tauhid hanya ada sebuah skripsi saudari Hartani ( 1999), Fakultas Tarbiyah, jurusan Pendidikan Agama Islam (PAI),  yang berjudul “Pendidikan Tauhid Pada Usia Remaja” ,saudari Hartani hanya sedikit menjelaskan tentang pendidikan tauhid bagi anak remaja dalam keluarga. Dijelaskan bahwa perkembangan keberagamaan diusia remaja menuntut orang tua harus mampu menjadi teman bagi anak-anak mereka, karena pada usia tersebut remaja memerlukan teman – sahabat yang bisa ia ajak bicara, maka jika orang tua tidak mampu menjadi sosok seorang teman-sahabat bagi anaknya diusia remaja, sangat sulit untuk membimbing, juga memberikan informasi tentang “ketauhidan”.
Skripsi saudara Hunainin (1996) Fakultas Tarbiyah, jurusan Pendidikan Agama Islam, yang berjudul “ Pendidikan Keimanan Bagi Anak Menurut Pemikiran Abdullah Nashih Ulwan, Dalam Kitab Tarbiyah Al-Aulad Fi Al Islam (Tujuan , Materi, Dan Metode)”.  Dia menjelaskan bahwa pendidikan keimanan bagi anak bertujuan untuk membentuk anak yang bertanggungjawab, jujur, dan terhindar dari sifat-sifat kebinatangan.  Tanggugjawab ini dipikul oleh orang tua, sebagai pendidik pertama dan utama bagi anak-anaknya.
Selanjutnya skripsi saudara Silahuddin (1998) Fakultas Tarbiyah, jurusan Pendidikan Agama Islam dengan judul “Pendidikan Keimanan Pada Usia Anak (Tinjauan Psikologis)”. Dia menyimpulkan bahwa pendidikan keimanan pada usia anak yakni usia 0-12 tahun, metode yang paling baik adalah dengan metode keteladanan. Hal ini disebabakan oleh pertumbuhan psikomotor anak dan perkembangan anak. Dia menekankan kepada asma-asma Allah sebagai materinya, dengan harapan anak dapat meresapi dan mengamalkannya di kehidupannya di masa yang akan datang.
Selain itu ada beberapa skripsi yang membahas tentang pendidikan anak dalam keluarga salah satunya skripsi milik saudari Anik Suryani Latifah (2003) Fakultas Tarbiyah, jurusan Kependidikan Islam, berjudul “Pendidikan Keluarga Membentuk Anak Shaleh Yang Cerdas Dan Kreatif”, ada satu paragraf yang sekilas menjelaskan pendidikan tauhid dalam keluarga bagi anak.Keteladanan nampak ditonjolkan sebagai metode orang tua dalam mendidik anak-anak mereka.
Skripsi saudari Bahisatul Badiyah (1996) Fakultas Tarbiyah, jurusan PAI, menulis “Mendidik Anak Dalam Keluarga Menurut Pendidikan Islam”, dijelaskan dalam skripsinya bahwa agama seseorang ditentukan oleh pendidikan, pengalaman, dan latihan-latihan yang dilakukan pada masa kecil;sehingga orang tua harus menanamkan dasar keimanan yang bersih dan membiasakan dengan ibadah. Dimulai dengan menanamkan kalimat La Ilaha illa Allah, sebagai kalimat tauhid yang pertama sekali didengar anak melalui adzan yang diucapkan sang ayahnya.Berpijak pada QS. Luqman ayat 13 bahwa tugas awal adalah menanamkan pendidikan tauhid keimanan kepada Allah SWT.
Selanjutnya ada skripsi saudari Umi Sa’adah (1998) “Pendidikan Islam Dalam Keluarga : Telaah kitab Sahih Bukhari” Fakultas Tarbiyah, jurusan PAI, mengungkapkan bahwa keluarga adalah pendidikan pendahuluan dan memparsiapkan anak untuk lembaga sekolah dan masyarakat. Untuk itu perlu dilakukan peningkatan kualitas keluarga yakni dalam memilih calon isteri maupun suami menjadikan agama sebagai prioritas utama. Begitu juga dalam mengisi pertumbuhan awal anak diprioritaskan kepada pendidikan agama, salah satu pokoknya ialah pendidikan iman atau aqidah.
Kemudian skripsi berjudul “Pendidikan Islam Dalam Keluarga : Studi atas pemikiran KH. Abdurrahman Ar-Roisi” yang ditulis oleh Umar Faruq (2003) Fakultas Tarbiyah, jurusan Kependidikan Islam sedikit menyinggung tentang keluarga idaman disebutkan bahwa tujuan pendidikan Islam dalam keluarga adalah menciptakan keluarga idaman yakni bahagia lahir-batin, dunia dan akhirat. Sebagai langkah awalnya ialah pendidikan pembentukan keyakinan kepada Allah yang dapat diharapkan melandasi sikap, tingkah laku dan kepribadian anak.
Skripsi saudara Setiyo Budiono (1999) Fakultas Tarbiyah, jurusan PAI, menulis “ Pendidikan Keluarga Dalam Islam : Suatu Kajian Teoritis”. Menjadikan anak sebagai pusat pembahasannya (children centereted), dibahas sekilas tentang pendidikan tauhid karena salah satu fungsi keluarga sebagai lembaga pendidikan (education).
Namun penelitian pada tulisan tetap memiliki perbedaan dengan skripsi-skripsi di atas, karena lebih difokuskan kepada konsep pendidikan tauhid dalam keluarga untuk anak. yang akan membahas tentang urgensi, metode serta materinya secara eksplisit.

B. Kajian Kepustakaan

Kepercayaan atau keyakinan akan yang gaib merupakan pokok kepercayaan keagamaan bagi setiap agama yang berdasarkan percaya kepada Tuhan Yang Maha Esa yang tidak dapat dicapai dengan penglihatan indera mata, sedang Dia dapat melihat segala yang kelihatan, dan Dialah Yang Maha Halus lagi Maha mengetahui[19]. Sehingga dikatakan bahwa sesunggguhnya ciri khas kepercayaan beragama adalah mempercayai semua hal yang metafisik  atau gaib.
Beriman kepada hal-hal yang gaib bagi kaum muslimin bukanlah sesuatu hal yang bertentangan dengan hukum akal, tapi merupakan suatu hal yang melampaui ruang lingkup indera dan alam nyata. Logikapun membenarkan pengambilan dalil atau bukti  dari sesuatu yang konkret ataupun  nyata sebagai bukti adanya yang gaib. Keterkaitan antara yang nyata dengan yang gaib, yang saling mendukung eksistensi atau dari yang suatu yang ada diluar jangkauan indera. Demikian Al Quran menetapkan dalil tentang ciptaan Allah yang konkret sebagai tanda adanya sang pencipta, yang merupakan zat yang tidak dapat dicapai oleh penglihatan mata.
Tunduk kepada kemampuan khayalan dan mengikatkan diri semata-mata pada kecenderungan akal, ditambah lagi ketidaktahuan terhadap sesuatu yang tidak kita ketahui, adalah jalan menuju kesesatan. Akal tidak dapat menjadi pegangan pokok dalam meyakini sebuah kebenaran.Kekeliruan persepsi, karena mengutamakan akal tanpa diringi bimbingan wahyu akan menyebabkan rusaknya akidah.[20]
Diturunkannya akidah Islam yang komprehensif, memenuhi tuntutan emosi dan rasio, mengajarkan kepada manusia apa yang tidak mereka ketahui sebelumnya, karena akal memiliki batas-batas dan mengeluarkan manusia dari kegelapan kebodohan, lalu menyinari jalan yang dilaluinya. Karena itu, barang siapa mengikuti apa yang diajarkan oleh wahyu Allah SWT, melaksanakan perintah dan menjauhi larangan-Nya, kemudian beriman kepada segala sesuatu yang disampaikan oleh Al Quran, berarti ia telah memperoleh petunjuk, dilindungi dan dipenuhi segala kebutuhannya. Dan barangsiapa menyimpang dari ajaran wahyu-Nya, berarti ia telah disesatkan setan :
...ومن لم يجعل الله له نورا فما له من نور (سورة النور :40)
Artinya: Barangsiapa tidak diberi cahaya oleh Allah, maka tidaklah dia mempunyai cahaya (petunjuk) sedikitpun (QS. An-Nur :40).
Mengingat pentingnya iman bagi seseorang, maka sudah seharusnya bila pendidikan Islam menetapkan tauhid ini menjadi pondasi yang pertama. Artinya, pendidikan Islam tidak boleh bertentangan dengan konsep ketauhidan dan harus menumbuhkan serta memperkuat pertumbuhannya secara positif.
Saat ini manusia telah dapat mengetahui banyak hal yang dahulu hanya diketahui melalui akal. Dengan ilmunya yang yang melahirkan alat-alat yang sangat canggih, manusia telah mampu mengetahui bentuk fisik hal-hal tersebut  setelah melalui berbagai penelitian dan dengan menggunakan alat-alat tertentu, walaupun benda-benda tersebut tidak dapat dilihat dengan hanya menggunakan mata telanjang tanpa bantuan alat-alat canggih yang mampu menambah jangkauan penglihatan mata yang tadinya terbatas.
Manusia percaya sepenuhnya terhadap keberadaan hal-hal tersebut  tanpa mempertanyakan lagi wujud fisiknya. Manusia hanya mengetahui aktifitas yang dihasilkan dari gerakan dan keberadaan benda-benda tersebut. Hal ini merupakan suatu bukti bahwasannya Allah SWT telah menciptakan banyak hal yang tidak kasat mata, yang esensinya tidak mampu dijangkau oleh akal.
 Kitab Al Quran telah mengikrarkan bahwa tauhid  adalah akidah universal (syamil). Maksudnya, akidah yang yang mengarahkan seluruh aspek kehidupan dan tidak mengotak-ngotakkannya. Seluruh aspek dalam hidup manusia hanya dipandu oleh hanya satu kekuatan, yaitu tauhid. Konsekuensinya ialah penyerahan (Islamisasi) manusia secara total – mulai dari kalbu, wajah, akal pikiran, qaul (ucapan), hingga amal – kepada Allah semata-mata.



a.      Pendidikan Tauhid
Ilmu tauhid adalah ilmu yang sangat penting bagi setiap muslim. Sebab ilmu ini menyangkut aqidah yang berkaitan dengan Islam. Sedangkan aqidah merupakan pondasi bagi keberagaman seseorang dan benteng yang kokoh untuk memelihara aqidah muslim dari setiap ancaman keraguan dan kesesatan.
Dalam kitab Syarah Sowi ’Ala Jauhari Al Tauhid karangan syeh Ahmad bin Muhammad Al Maliki As Soowi mendefinisak tauhid sebagai berikut :




Tauhid secara syara’ ialah mengesakan dzat yang disembah dalam ibadah dengan mengi’tiqodkan adanya kesatuan Dzat, kesatuan sifat dan kesatuan Af’al[21]
Dalam istilah ilmu kalam, kemaha-esaan Allah mencakup tiga macam katagori yaitu : wahdaniyah adz-Dzat, wahdaniyah as Shifat dan Wahdaniyah al Af’aal[22]
1.      Wahdaniyah adz Dzat (kemaha-esaan Dzatnya Allah)
Hal ini berarti dzatnya Allah tidak terdiri dari komponen-komponen atau terdiri dari kesatuan-kesatuan oknum. Bahwa dzatnya Allah adalah esa dan tidak dapat dipisahkan dan tidak dapat dibagi-bagi. Firman Allah
ö@è% uqèd ª!$# îymr& ÇÊÈ   ª!$# ßyJ¢Á9$# ÇËÈ   öNs9 ô$Î#tƒ öNs9ur ôs9qムÇÌÈ   öNs9ur `ä3tƒ ¼ã&©! #·qàÿà2 7ymr& ÇÍÈ  

Comments (0)